Bila Anak Asyik Dengan Teman Khayalnya

By nova.id, Kamis, 20 Mei 2010 | 17:18 WIB
Bila Anak Asyik Dengan Teman Khayalnya (nova.id)

Bila Anak Asyik Dengan Teman Khayalnya (nova.id)

"Iman Dharma/nakita "

"Kamu mau apa? Mau kue? Tapi dihabisin, ya," bilang Desy (4 tahun). Padahal, di hadapannya tak ada siapa pun. Begitulah salah satu ciri anak usia 3-4 tahun. Suka asyik ngobrol sendiri. Tapi bukan berarti mereka nggak waras, lo. Melainkan sedang bermain dengan teman khayalnya.

Teman khayal, terang Dra. Shinto B. Adelar, merupakan bagian dari fantasi anak dalam bermain imajinatif, "Seakan-akan anak punya teman saat bermain sendiri." Seringkali dalam bermain imajinatif, ia juga menggunakan alat dan menganggap alat itu sebagai sesuatu yang lain. Misalnya, menganggap pulpen sebagai ular dan sebagainya. Anak usia sekitar 3-4 tahun belum bisa membedakan mana yang realita dan fantasi, "Mereka masih animistis. Semua benda mati dianggap punya nyawa, sama seperti orang."

Bermain imajinatif, terang psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini lebih lanjut, dilakukan anak karena ia melihat dalam kehidupan sehari-hari orang tak bisa berbicara sendiri, harus ada lawan bicaranya. "Nah, karena lawan bicaranya nggak ada, maka ia mengembangkan sendiri di dalam fantasinya." Atau ia berimajinasi seakan-akan bonekanya bisa berbicara, "Mau makan apa? Aku suapin, ya?"

HILANG SENDIRI

Umumnya orang tua khawatir kala menyaksikan anaknya asyik ngomong sendiri. Dianggapnya sang anak sudah tak normal lagi. Bahkan ada yang mengira anaknya kemasukan roh halus. Padahal, "Ini merupakan hal yang wajar. Justru kalau ini tak tumbuh pada anak-anak, harus diteliti," kata Shinto.

Hal ini biasa terjadi saat anak berusia sekitar 3 tahun. Tapi kalau sampai umur 5 tahun si anak tak bisa bermain imajinatif, kita patut curiga. "Mungkin saja kapasitas kecerdasannya agak kurang atau anak mengalami kelambatan dalam perkembangannya. Sebab, anak-anak yang kurang cerdas tak akan bisa membayangkan hal-hal seperti itu."

Soal apa saja isi pembicaraan si anak dengan teman khayalnya, berbeda-beda pada setiap anak. Yang pasti, erat kaitannya dengan pengalaman sehari-hari si anak. Begitu juga dengan topiknya, tergantung pengalaman mana yang paling dominan dalam kehidupan si anak.

Dengan bertambahnya usia, teman khayal akan hilang sendiri. Anak akan menjadi lebih realistis di samping, "Lingkungan pergaulannya juga akan lebih luas. Misalnya, dengan adanya teman-teman di sekolah. Nah, otomatis, akan semakin berkurang kesempatan untuk membuat teman khayal."

MENGATASI MASALAH

Adapun fungsi teman khayal bagi anak, salah satunya untuk mengembangkan kemampuan kognitif. Karena si anak tentunya akan banyak berpikir untuk bisa melakukan dialog dengan teman khayalnya itu. "Nah, dengan banyak berpikir, maka akan merangsang otak untuk berkembang secara kognitif," tutur Shinto.

Bermain dengan teman khayal juga melatih anak untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih bisa diterima. Misalnya, ia kesal lalu memukul teman khayalnya. Tapi coba kalau dia bermain dengan teman beneran lalu memukulnya, kan, tidak boleh. Bisa jadi si teman malah balas memukul. Iya, kan!

Selain itu, teman khayal juga sebagai latihan untuk mengatasi masalah sehari-hari, belajar tentang peran, dan bersosialisasi. Misalnya, anak ngomong dengan teman khayalnya, "Adik mau makan? Makanannya enak nggak? Nggak enak, ya." Nah, darimana anak bisa berdialog semacam ini? Tentu ia belajar dari lingkungannya.

Contoh lain, anak tak suka makan sayur. Ia lalu berdialog dengan teman khayalnya, "Aku kesel, deh, kalau disuruh Mama makan sayur. Aku, kan, nggak doyan sayur." Teman khayalnya lantas menjawab, "Kamu harus makan sayur, soalnya sayur bikin tubuh jadi sehat."

Nah, di sini ada faktor pengetahuan yang diperoleh anak, bahwa sayuran itu sehat. Mungkin dalam dirinya, makan sayur merupakan masalah yang dibawanya ke situasi imajinatif. Lalu ia mencoba mencari sendiri jalan keluarnya, "Kalau begitu, makan sedikit saja, ya, nggak usah banyak-banyak." Teman khayalnya menjawab, "Ya nggak apa-apa sedikit, asal dimakan."

Atau mungkin si anak mendengar hal itu dari orang tuanya, yang lalu dikomunikasikan dengan teman khayalnya. "Jadi, semacam exercise bagi anak untuk mengatasi masalah, untuk mengatasi rasa tak sukanya, rasa marahnya, senang, dan sebagainya." Hal ini, menurut Shinto, bisa menunjang bagi pengembangan emosi si anak. Meski jarang, teman khayal juga biasanya dilakukan oleh anak-anak yang kesepian. "Mungkin ia nggak punya teman. Jadi, ia kemudian mengobrol dengan bonekanya. Atau kalau nggak ada benda apa-apa, ia akan mengobrol dengan teman khayalnya".

LIBATKAN DIRI

Orang tua, anjur Shinto, tak perlu khawatir. Justru dari teman khayal ini, orang tua bisa memantau apa yang dihadapi anak sehari-hari. Misalnya, dalam obrolan dengan bonekanya si anak bicara kasar. Nah, orang tua bisa memantau, anak belajar dari mana. "Dengan adanya interaksi yang baik, biasanya secara emosional ada kedekatan antara orang tua dan anak. Ini adalah bibit penting bagi komunikasi lebih lanjut."

Selain itu, orang tua juga bisa menggali hal-hal terpendam yang tak bisa dikemukakan oleh anak. "Jangan-jangan anak tengah menghadapi masalah." Caranya, amatilah si anak kala berdialog dengan teman khayalnya. Misalnya, ia tengah memarahi boneka atau teman khayalnya. "Nah, sebetulnya si anak itu sedang marah pada seseorang."

Alangkah baiknya bila orang tua mau melibatkan diri ke dalam dunia anak selama si anak tak keberatan. "Tapi kalau anaknya keberatan, ya, jangan dipaksa. Karena akan memutus fantasinya." Dengan kata lain, orang tua bisa terlibat sejauh hal itu akan mendorong anak untuk berfantasi.

Paling tidak, orang tua bisa merangsang anak dengan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya si anak mengatakan, "Nggak, ah, aku nggak mau makan wortel." Lantas ditanya, "Lo, kenapa? Wortel, kan, baik. Bisa bikin tubuh jadi sehat." Dengan begitu, si anak tak merasa bahwa sebetulnya dialah yang sedang ditanya. Karena saat itu ia masih ada dalam dunia khayalnya.

Kalau si anak ada masalah, orang tua juga mengemukakan alternatif pemecahannya. Misalnya, anak sedang menonjok-tonjok teman khayalnya. Jangan orang tua langsung melarang dengan mengatakan, "Jangan ditonjok, kan, sakit." Tapi katakan, "Kalau Adik ditonjok-tonjok, rasanya bagaimana?" Cara ini, terang Shinto, mengajak si anak untuk berpikir dan lalu berempati, "Oh, iya, ya, kalau ditonjok, kan, sakit." Sehingga, fantasinya pun "berjalan". Jadi, dengan orang tua mendampingi atau melibatkan diri, akan bisa mengarahkan fantasi si anak. "Tapi bukan ikut campur, lo," tandasnya.

DAMPAK NEGATIF

Yang penting, kata Shinto, jangan sampai si anak terlalu asyik dengan teman khayalnya. "Kalau anak sampai menghabiskan banyak waktunya dengan berfantasi yang lalu membatasi aktivitasnya dalam bidang lain atau bersosialisasi, orang tua baru boleh khawatir. Karena hal ini sudah di luar kewajaran." Misalnya, anak jadi lebih senang mojok dengan teman khayalnya. Ia hidup di dunianya sendiri.

Seperti ditulis Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya yang dialihbahasa Perkembangan Anak, ada 3 dampak negatif teman khayal. Pertama, teman khayal tak dapat mengajarkan keterampilan bermain atau memberikan kesempatan bagi anak untuk mempelajarinya dari permainan yang bersifat kooperatif dengan anak-anak lain. Kedua, anak dapat berperan sebagai pemimpin di tengah-tengah teman khayalnya dan mendominasi situasi permainan. Hal ini mendorongnya untuk selalu memerintah, suatu kebiasaan yang akan menghambat usahanya untuk berperan sebagai pemimpin di tengah-tengah teman sebayanya atau bahkan untuk dapat diterima sebagai pengikut dalam kelompok teman sebayanya itu.

Dampak terakhir ialah anak tak akan memperoleh kesempatan untuk mempelajari berbagai pola perilaku seperti wawasan sosial, kerja sama dan sportivitas. Hal ini jelas akan menghambatnya untuk dapat diterima oleh teman sebayanya ketika ia menyadari bahwa teman khayal sudah tak dapat memenuhi kebutuhannya akan teman.

Oleh karena itu, anjur Shinto, orang tua harus memberi anak kegiatan yang banyak memerlukan sosialisasi. Entah memberi kesempatan luas untuk bergaul dengan teman sebayanya, masuk kelompok renang, sanggar lukis, dan lainnya. Tak sulit, kan ?

Hasto Prianggoro/nakita