Sebetulnya, bukan cuma wajar, tapi juga diperlukan. Yang penting, kita tahu cara menyiasatinya sehingga tak berkembang menjadi fobia.
Jangankan mendengar petir, suara hujan saja sudah membuat Nastiti (2 tahun) langsung lompat ke pelukan ibunya. Nastiti penakut? Tidak juga. Itu reaksi wajar dari seorang anak kecil yang baru mulai mengerti dan mampu menangkap konsep sebab-akibat.
Selain suara geledek, anak-anak (umumnya hingga usia 3 tahun) juga takut pada kegelapan, binatang tertentu, orang bertopeng atau orang yang dirasanya asing.
Disamping ia mulai mampu menangkap konsep sebab-akibat, "Di sisi lain ia belum bisa membedakan, mana yang masuk akal dan tidak. Karena itu, apa yang dilihat dan didengarnya sering diserapnya sebagai sesuatu yang nyata," jelas psikolog dari Surabaya, Dra. Enggawati Tedjasukmana. Belum lagi ditambah imajinasinya yang sudah berkembang. Misalnya, ia takut pada bunyi guyuran air di kloset karena ia berpikir bisa ikut terseret aliran air itu. Dia belum sadar, badannya yang "besar" tak bisa diseret aliran air kloset yang tekanannya rendah.
UNIVERSAL
Menertawakan atau memarahinya jika ia ketakutan "tak keruan", kata Enggawati, merupakan tindakan kurang bijaksana. Sebab, "Itu sesuatu yang wajar dan akan dialami tiap anak. Dulu, waktu orang tua masih kecil, juga mengalami hal sama."
Pada dasarnya, lanjut psikolog ini, ketakutan pada anak ada yang disebut ketakutan dasar (uhr angst) yang sifatnya universal (dialami anak di seluruh dunia). Misalnya, takut pada kegelapan, suara gemuruh, takut ditinggal ibu, dan lainnya.
Enggawati lalu mengisahkan pengalaman pribadinya. "Anak sulung saya sampai tak bisa membuka mata di malam hari karena rasa takutnya yang begitu besar. Tidak tidur tapi harus memejamkan mata." Belakangan, kelakuan si sulung yang membuatnya bingung itu terkuak. "Ternyata dia takut ibunya mati."
Tentu saja ada penyebabnya. "Rupanya, dia pernah saya ajak menjenguk pamannya yang sakit dan tak lama kemudian si paman meninggal." Si sulung pun bertanya pada ibunya, mengapa sang paman meninggal. "Saya jawab, setiap orang pasti akan mati." Dan ketika anaknya bertanya apakah sang ibu akan meninggal juga, "Saya benarkan. Reaksinya, ia menjerit sambil mengatakan, kalau saya mati, dia nanti bersama siapa? Rupanya, itulah yang ia takutkan."
Konsep salah gara-gara imajinasi yang berkembang ini, menurut Enggawati, harus segera dibenahi. "Pada kasus anak sulung saya, saya katakan, saya tak akan meninggal sekarang. Saya beri contoh neneknya yang hingga tua tetap ada. Sejak itu, ketakutannya reda."
Ketakutan dasar ini, tutur Enggawati, akan hilang dengan sendirinya seiring bertambahnya pengalaman yang dimiliki anak. "Lama-lama ia akan sadar, jika mamanya pergi, itu pasti tak lama dan akan kembali pulang. Dengan kesadaran itu, ketakutan akan kehilangan ibunya akan hilang dengan sendirinya."
MENIRU