Ke Dokter? Siapa Takut?

By nova.id, Kamis, 1 April 2010 | 02:42 WIB
Ke Dokter Siapa Takut (nova.id)

Kapan Harus Pindah Dokter ?

Ada orang tua yang baru dua hari membawa anaknya ke dokter A, besoknya sudah pindah lagi ke dokter B. Alasannya, panas anak tak juga turun. Padahal, kata Najib, berpindah-pindah dokter tak bagus. "Kalau baru dua hari sudah pindah dokter, berarti dokter kedua melakukan pemeriksaan dari awal lagi," jelasnya.

Lebih baik habiskan dulu obat dari dokter pertama. Bila tak kunjung sembuh, kembalilah ke dokter tersebut untuk menanyakan sebabnya. "Karena kondisi penyakit bisa berubah-ubah setiap waktu. Jadi, bukan karena dokternya yang kurang bermutu dan obatnya tidak manjur," tukas Najib.

Lain halnya bila si anak sudah berobat berkali-kali tapi tetap tak ada perubahan, bolehlah orang tua mencari pendapat dokter lain. Meski tak tertutup kemungkinan diagnosa dokter kedua ini pun sama dengan dokter pertama.

Untuk yang selalu berpindah dokter, Najib mengingatkan agar membawa data medis si kecil. Biasanya dokter anak akan memberikan satu buku atau kartu untuk dipegang orang tua si pasien. Kalau dokter tak memberi kartu data medis, kita boleh memintanya kepada si dokter.

Lewat kartu data medis itulah dokter kedua bisa melihat perkembangan pasien. Ia jadi tahu, obat apa saja yang pernah diberikan, apakah pasien pengidap alergi tertentu, dan lainnya. Idealnya, dokter kedua pun melanjutkan data pasiennya di kartu tersebut.

Mungkin saja terjadi, karena pindah-pindah dokter, data medis jadi kacau karena tak semua data dituliskan di sana, sementara dokter yang baru tak hapal dengan keadaan si pasien sebelumnya.

Apa pun, saran Najib, sebaiknya tak berpindah-pindah dokter karena hal ini menyangkut perkembangan medis si anak. Dengan hanya berobat pada satu dokter, maka si dokter jadi tahu persis bagaimana perkembangan dan kondisi pasiennya.

Itulah mengapa Najib juga menganjurkan orang tua agar membawa anaknya kontrol ke dokter, kendati sehat. Untuk anak usia 1-3 tahun, sarannya, kontrol 3 bulan sekali. Dengan begitu, perkembangan si anak dapat terus terpantau. "Bila ada kelainan yang tak sesuai perkembangan usianya, bisa cepat ditangani dokter," jelas Najib.

Menjelaskan Penyakit

Anak usia 2-3 tahun biasanya sudah mengerti. Jadi tak ada salahnya ia diberi tahu soal penyakitnya dengan bahasa yang sederhana. Misalnya, "Kamu sakit berak-berak. Makanya makannya harus bubur. Kalau makan yang keras-keras, ususnya enggak kuat. Nanti kalau sudah sembuh, boleh makan yang keras-keras lagi."

Menurut Najib, tak perlu memberi tahu nama penyakitnya. "Terutama untuk anak yang sensitif. Jika diberi tahu ia mengidap kanker, misalnya, ia bisa langsung patah semangat, merasa akan segera mati." Jadi, "Ayah dan ibu juga harus memikirkan dampak psikologisnya pada anak."

Jika si kecil harus pakai alat bantu seperti pada penderita thalassemia, terangkan saja secara sederhana. "Darahmu kurang bagus. Nah, kalau pakai alat ini, darahnya jadi baik dan kamu jadi kuat kembali."

Sebaiknya anak juga dijelaskan kalau memang harus menjalani operasi. "Contohnya ada anak yang menduga kalau operasi amandel itu lehernya dipotong. Nah, terangkan bahwa mulutnya nanti diminta menganga, terus amandelnya diangkat. Dengan demikian ketakutannya akan berkurang," terang Najib.

Indah Mulatsih/nakita