Bisa saja, lo, gara-gara salah asuh, anak malah dijauhi teman-temannya. Jadilah ia tak punya teman. Kasihan, kan?
"Besok aku nggak mau ke sekolah!" Nah, lo! Kita pasti kaget dan bingung, ada apa ini? "Habis, enggak ada yang mau main sama aku!" protes si kecil lagi dengan mata berlinang.
Oalah, kasihan sekali. Bisa kita bayangkan, bagaimana tak enaknya tidak punya teman. Nah, apalagi si kecil yang perasaannya masih begitu peka. Terlebih, kebutuhan akan teman sudah ada sejak anak dilahirkan. Coba saja, bayi akan berhenti menangis begitu ibunya menghampiri.
Kebutuhan itu makin meningkat seiring pertambahan usia si anak. Pada usia 3-5 tahun biasanya sosialisasi anak sudah berkembang. Di sinilah ia mulai memiliki peer group atau kelompok teman sebaya. Dalam peer group biasanya sudah ada aturan mainnya, termasuk siapa saja yang bisa menjadi anggota kelompok. "Biasanya anak-anak yang ramah, mau berbagi, dan kooperatif lebih disukai ketimbang anak-anak yang agresif," kata psikolog Evi Sukmaningrum dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.
Begitu pula anak yang cenderung mau menang sendiri, tidak mau berbagi dengan temannya, dan egois, juga tak disukai. "Juga anak yang suka mengganggu atau biang kerok. Mereka ini tak disukai teman lainnya, seperti halnya si pemalu, penakut, dan hanya mau main jika diajak tapi tidak mau berinisiatif mengajak."
SALAH ASUH
Anak bisa disukai atau ditolak teman-temannya, menurut Evi, tak bisa dilepaskan dari faktor pola asuh orang tua. Ingat, seorang anak belajar berinteraksi sosial dari lingkungan keluarga. Jadi, "Bagaimana ayah dan ibunya berinteraksi dengan anak, maka seperti itulah yang akan dibawa si anak ke dalam lingkungan bermainnya."
Orang tua yang otoriter, misalnya, cenderung mengabaikan hak anak untuk berbicara. Apa kata orang tua harus dituruti oleh sang anak, tanpa diberi kebebasan berargumentasi. Anak tentu merasa tak puas dan marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, ketika ia "dilepas" ke lingkungan di luar rumah, ia lantas membuat ulah untuk melampiaskan ketidakpuasannya atau rasa marahnya itu. Entah dengan mengusili temannya atau menunjukkan perilaku agresif.
Lain halnya dengan anak dari orang tua yang permisif, yang selalu menuruti permintaan anak atau serba membolehkan. Tak peduli apakah permintaan si anak bermanfaat atau tidak, yang penting si anak tidak rewel. Akibatnya, anak tak pernah belajar untuk berjuang dalam mendapatkan sesuatu. Jadilah begitu ia masuk ke lingkungan sosial, ia menuntut hal yang sama kepada temannya. Maunya menang sendiri, selalu harus duluan, tak peduli kepentingan orang lain, dan merasa selalu benar. "Jelas, anak tipe ini akan dijauhi teman-temannya," kata Evi.
Ada pula orang tua yang terlalu melindungi anaknya, baik fisik maupun emosional. Secara fisik, misalnya, anak dilarang main di luar rumah karena alasan bahaya atau takut si anak bergaul di lingkungan yang salah. Sementara secara emosional, anak selalu dibela saat bertengkar dengan temannya. Akibatnya, anak jadi penakut, pemalu, dan tak percaya diri.
Bisa jadi pula orang tua kurang memberikan model perilaku yang baik untuk ditiru. Bersikap bossy, misalnya, baik dalam hubungannya dengan si anak maupun pasangan hidupnya. Anak tentu akan meniru dan diterapkannya saat bermain bersama teman-temannya. Ya, teman-temannya enggak bisa menerima, dong. Siapa, sih, yang mau diatur terus menerus?
Atau orang tua kerap menggunakan cara kekerasan untuk mengatasi masalah. Ayah atau ibu suka memukul, misalnya, kala si anak tak patuh. Dari situ si anak belajar, "Oh, begitu, ya, caranya kalau kita ingin orang lain menurut." Ketika temannya tak mau mengabulkan permintaannya atau menurut, maka melayanglah tangan si anak ke badan sang teman.