Kendati demikian, Yulia tak setuju bila orangtua menggunakan istilah tangan "manis" dan tangan "jelek". "Jika dibilang tangan manis, nanti anak akan bilang, 'Manis, kan, ada rasanya.' Atau, anak akan bingung, 'Lo, kok, tangan saya jelek? Padahal, kan, sama.' Efeknya bisa macam-macam. Bisa juga nanti anak maunya di bagian kanan terus karena merasa yang kanan itu selalu bagus dan yang kiri itu jelek," terangnya. Jadi, ajarkan sesuai dengan apa yang mereka harus ketahui.
Jika selama proses pembelajaran, ternyata si kecil masih saja memakai tangan kiri, menurut Yulia, harus "diselidiki" lebih jauh. Apakah ia memang tak bisa memakai tangan kanan sebagaimana teman-temannya? Misalnya, ia susah sekali dilatih menggambar dengan tangan kanan dan lancar sekali kalau menggunakan tangan kiri. Perhatikan pula, apakah jika ia membuat sesuatu, hasilnya akan lebih baik jika saat membuat ia menggunakan tangan kirinya.
Itu pun masih perlu dilihat lagi, apakah ada faktor psikologisnya atau tidak. Contohnya, jika dikerasi anak lalu menjadi gagap. Atau ia mungkin ingin mendapatkan perhatian seperti sudah diuraikan di atas. "Jadi, banyak aktor yang harus diperhatikan sebelum menentukan, apakah itu betul karena persyarafannya atau psikologisnya? Kalau tak ada masalah, ya, berarti tangan kiri si anak lebih kuat dan terampil," tutur penulis buku psikologi keluarga dan perkembangan anak ini.
Jika anak berkecenderungan kidal, lanjut Yulia, "Lingkungan harus menerima dan membantunya. Jangan hanya menerima tapi terus dibiarkan saja." Sayangnya, hal itu kerap dibiarkan. Padahal, seharusnya orangtua membantu. "Anak yang pakai tangan kanan saja, kerap masih harus dibantu," ujar konselor pada sejumlah sekolah menengah di Jakarta ini.
Bantuan itu bisa berupa menyediakan peralatan yang khusus dirancang untuk kaum kidal. Misalnya gunting, cangkir, dan pegangan pintu yang dapat dibuka dengan mudah dengan menggunakan tangan kiri.
JANGAN PAKSA
Ahli lain berpendapat, pemakaian tangan kiri merupakan bahaya potensial bagi penyesuaian sosial dan pribadi yang baik. Jika anak menyadari dirinya berbeda dan jika ia merasa lebih rendah, itu akan berpengaruh pada sikapnya terhadap diri sendiri dan pada gilirannya mempengaruhi sikap terhadap perilakunya. Misalnya, ia merasa rendah diri karena mendapat julukan "si kidal". Ini bisa berpengaruh buruk terhadap konsep dirinya.
Bahaya ini cenderung meningkat ketika ia semakin besar dan saat ia memasuki tahapan ingin seperti teman sebayanya. Biasanya perasaan malu dan sadar diri akan adanya perbedaan ini mencapai puncaknya di masa puber dan pada awal masa remaja.
Kendati demikian, tak berarti kita harus memaksa si kecil menggunakan tangan kanannya. Sebab, seperti dikatakan Yulia, bisa menimbulkan dampak psikologis. Antara lain, anak menjadi gagap. "Jika sebelumnya dia tak mengalami hambatan dalam berbicara tapi lalu menjadi gagap, berarti dia mengalami banyak tekanan. Ia dipaksa pakai tangan kiri sementara ia tahu, tangan kirinya lebih kuat dan terampil. Pemaksaan seperti ini akan membuatnya tertekan dan menimbulkan gagap. Nah, gagapnya itu akan hilang jika ia kembali boleh menggunakan tangan kirinya," terang Yulia. Dampak psikologis lain yang muncul, ia jadi gugup semisal mengisap jempol dan menggigit jari. Bahkan, mengompol dan masalah emosional lainnya.
Karena itulah, lanjut Yulia, yang terpenting adalah sikap menerima dari lingkungan. "Jangan sampai anak yang memakai tangan kiri diledek atau ditertawakan. Jika sikap orangtua menerima, biasanya lingkungan pun menerima sehingga anak jadi lebih kuat. Menghadapi orang lain pun, ia bisa bersikap biasa-biasa saja," papar mantan dosen Fakultas Pedagogik Universitas Kristen Indonesia ini.
Julie Erikania/nakita
Mengurangi Dampak Psikologi