Berdamai dengan Pengawet Makanan (1)

By nova.id, Jumat, 8 Mei 2009 | 17:46 WIB
Berdamai dengan Pengawet Makanan 1 (nova.id)

Pengeringan ini biasanya dilakukan pada ikan asin. Metode canggih juga bisa digunakan dengan irradiasi (penggunaan sinar gamma), penggunaan ozone, dan sinar UV yang digunakan untuk sterilisasi air minum.

Satu lagi cara pengawetan yang sebenarnya cukup populer, namun paling dikhawatirkan banyak orang, adalah penambahan bahan pengawet (food preservatives). Kekhawatiran sebagian masyarakat itulah yang menyebabkan banyak produsen yang mengiklankan produknya "bebas bahan pengawet".

Bahan pengawet merupakan salah satu jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP), yang sering juga disebut bahan tambahan kimiawi, atau zat aditif pangan. "Kata 'bahan kimia' memang bagi kalangan awam terkesan menakutkan. Kenyataannya, semua bahan pangan yang kita konsumsi sebenarnya mengandung senyawa kimia. Misalnya, garam dapur yang merupakan senyawa natrium klorida, cuka disebut juga asam asetat, bumbu masak yang sering disebut MSG, dan masih banyak lagi," ungkap Deddy.

Badan organisasi pangan dan kesehatan dunia, FAO dan WHO, telah menetapkan definisi BTP (food additive) sebagai bahan-bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit, untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau memperpanjang masa simpannya.

Penggunaan BTP diatur dengan berbagai peraturan. Di Indonesia ada peraturan yang dikeluarkan oleh Depkes, serta Undang-undang Pangan no. 7 tahun 1996. Pada skala internasional, pengaturan BTP terdapat dalam Food Chemical Codex yang dikeluarkan FAO dan peraturan yang dikeluarkan oleh WHO, serta peraturan di negara adidaya seperti yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.

Beberapa jenis bahan pengawet yang telah diteliti dan dianalisa oleh berbagai badan kesehatan di dunia dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia, ditetapkan aman untuk dikonsumsi. Bahkan Deddy memberi contoh, NaCl (garam dapur) dapat dikonsumsi tanpa batas maksimal. "Berapa banyak pun kita mau mengonsumsinya, boleh saja."

Dok. NOVA