Syarifah Aliyah Shihab, Lawan Lupus Dengan Berkarya

By nova.id, Sabtu, 9 November 2013 | 10:41 WIB
Syarifah Aliyah Shihab Lawan Lupus Dengan Berkarya (nova.id)

Omong-omong, apa latar belakang pendidikan Anda?

Saya sekolah di SMK, jurusan farmasi dan kuliah di bidang ekonomi. Tapi, sebelum kuliah saya diminta Papa untuk masuk pesantren di Bekasi. Sebenarnya saya enggan. Akhirnya, kami buat perjanjian, saya hanya tinggal tiga bulan di pesantren. Namun baru seminggu di pesantren, mindset saya malah berubah dan di sana saya isi kegiatan dengan menulis novel. Setelah itu, semua kegiatan saya terkait pekerjaan mengalir begitu saja. Padahal mayoritas keluarga Arab punya pakem, perempuan harus di rumah dan pasif. Saya termasuk yang dipandang aneh karena terlalu banyak kegiatan. Buat keluarga Arab yang fanatik, malah perempuan tidak boleh pergi-pergi. Ada juga sepupu saya yang sudah menikah di usia 15 tahun, tidak kuliah atau bekerja.

Bagaimana meyakinkan keluarga bahwa perempuan juga berhak bekerja?

Alhamdulillah, pola pikir orangtua saya cukup modern. Saya bisa bebas berkarya dan mencoba banyak hal, asal tetap mematuhi norma-norma adat yang berlaku. Jadi saya bisa membuktikan kepada orangtua, saya bekerja bukan hurahura. Keaktifan saya bermanfaat untuk orang banyak. Kendati saya anak pertama dari delapan bersaudara, adik-adik saya juga aktif di berbagai kegiatan. Bersyukur, kendala dari keluarga tak ada, sebab mereka mendukung dari segi materi dan non-materi. Saya sejak kecil memang sudah diikutkan banyak les, harus salat lima waktu, sedekah, puasa Senin dan Kamis. Tapi soal pakai cadar, terserah mau pakai atau tidak.

Lalu?

Niat utama saya adalah ibadah agar menjadi manusia yang bermanfaat. Saya juga semangat, karena ada anak dan ingin membanggakan kedua orangtua. Bentuknya tak mesti usaha dengan omzet miliaran rupiah. Bisa dikatakan saya berani mendobrak pakem tradisi keluarga Arab. Ada, sih, komentar dari keluarga besar. Katanya, ngapain capek-capek mengurus kegiatan duniawi? Setelah menikah, ya, sudah di rumah saja jadi istri dan ibu yang baik. Saya jawab, kalau bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak, kenapa tidak? Ada juga teman yang pernah tertarik ikut kegiatan saya, misalnya bikin album religi. Tapi mereka harus bilang orangtuanya dulu dan belum tentu disetujui. Ya, masing-masing punya jalan hidup sendiri. Termasuk saya, yang juga divonis dokter sebagai odapus (orang dengan penyakit lupus).

Apa reaksi Anda? Bagaimana menjalani berbagai kegiatan meski menderita lupus?

Awalnya tentu kaget, saat itu usia saya masih 19 tahun. Kalau sedang road show memberi motivasi ke sekolah-sekolah, saya sering pingsan. Makanya, saya mendidik trainer agar undangan dari sekolah tetap bisa terpenuhi. Saya sering merasa cepat capek. Kalau dianalogikan baterai handphone, saya hanya bisa berfungsi seperempat atau setengahnya. Selain sakit kepala dan batuk-batuk, tulang-tulang juga terasa ngilu. Tapi kalau hanya diam saja di rumah, saya tak betah karena dihantui rasa sedih dan ingin mati akibat menderita penyakit ini. Meski takut dengan sisa hidup saya, tapi saya berangsur mau menerima kenyataan harus hidup dengan penyakit lupus. Jadi, sejak awal saya tak melakukan pengobatan. Saya memilih cara herbal, minum racikan habbatus sauda, madu, dan zaitun. Cara saya melawan lupus, ya, dengan selalu menganggap diri sehat meski sebenarnya tak sehat 100 persen. Penyakit apa pun, kalau disyukuri tak akan jadi masalah. Toh, meski menderita lupus, saya tetap berkegiatan. Dari hal itu, saya mendapat penghargaan Young Caring Professional Award 2012, masuk dalam 50 orang terpilih untuk Satu Indonesia Award 2012, juga Perempuan Inspiratif NOVA 2013.

Bagaimana rasanya terpilih sebagai Perempuan Inspiratif NOVA 2013?

Tentu saja senang dan bangga. Saya yakin bisa berbagi inspirasi dengan semua perempuan Indonesia. Soal sociopreneur misalnya, resepnya yakin pada diri sendiri, lalu temukan hobi yang disukai agar bisa potensial menjadi bisnis. Jika menjalankan bisnis berdasar hobi, pasti akan enjoy. Juga jangan terlalu money oriented. Ikuti juga berbagai macam komunitas. Dari situ akan menemukan inspirasi sendiri yang sesuai dengan minat dan lingkungan. Poin terpenting adalah bagaimana caranya orang lain bisa ikut terinspirasi dan sukses pada akhirnya. Tapi sebagai perempuan juga tetap utamakan keluarga dengan pembagian waktu yang efektif. Bagi pembaca yang juga terkena diagnosis suatu penyakit, jangan terus- menerus dipikirkan, nanti malah jadi semakin sakit. Obatnya, jangan murung di kamar atau menyesali keadaan, tapi sebaiknya berpikir bagaimana supaya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain sebelum meninggal dunia. Nanti pas meninggal dunia, sudah ada bekal untuk di akhirat.

Ke depan, apalagi yang akan dilakukan?

Kami akan membangun rumah multitalenta di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan kota-kota lain. Rumah ini berisi segala macam les gratis untuk pengembangan bakat yang dimiliki anak-anak. Nantinya akan ada ruangan khusus untuk menari, menyanyi, belajar desain grafis, melukis dan lain-lain. Alasan utama saya membangun rumah multitalenta, jika anak-anak menengah ke atas bisa ikut les, tapi yang dari menengah ke bawah belum tentu bisa. Dari hasil motivasi dan pengajian selama ini di berbagai sekolah, saya melihat kebutuhan itu. Semoga bisa segera terwujud.

Swita A Hapsari