Syarifah Aliyah Shihab, Lawan Lupus Dengan Berkarya

By nova.id, Sabtu, 9 November 2013 | 10:41 WIB
Syarifah Aliyah Shihab Lawan Lupus Dengan Berkarya (nova.id)

Syarifah Aliyah Shihab Lawan Lupus Dengan Berkarya (nova.id)

""

Menyebut diri sebagai sociopreneur, semangat hidup Syarifah Aliyyah Shihab (25) tetap menyala ketika dokter memvonisnya terkena penyakit lupus. Aliyyah pun aktif di kegiatan sosial dan menjadi motivator untuk banyak orang. Tak heran bila perempuan berdarah Arab ini pun terpilih sebagai Perempuan Inspiratif NOVA (PIN) 2013 kategori Seni, Sosial, dan Budaya.

Apa kabar? Bisa diceritakan apa kegiatan Anda saat ini?

Alhamdulillah, kabar baik. Kegiatan saya dari tahun 2007 masih tetap road show ke sekolah-sekolah di seputaran Jawa Barat. Tujuannya untuk memotivasi dan memberi workshop singkat tentang belajar menulis buku fiksi dan non fiksi, sekaligus mengedukasi mereka tentang penyakit lupus. Saya ingin menginspirasi para remaja agar bisa berkarya sesuai hobi atau kemampuannya. Lainnya, saya aktif dalam komunitas Pinky Hijab yang saya dirikan. Juga membuat album religi dan menjadi narasumber di 30 jaringan teve lokal se-Indonesia, juga radio untuk menjadi motivatorbagi remaja.

Anda menyebut diri sebagai sociopreneur. Bisa dijelaskan?

Profesi saya memang tak ada yang pasti, saya menulis karena memang suka. Menjadi motivator karena ingin berbagi. Semua ini bermula ketika saya menerbitkan novel pertama, The Power of First Love. Setelah itu saya road show ke sekolah-sekolah. Rasanya senang bisa memotivasi dan menginspirasi anak-anak re maja untuk menulis. Ibaratnya, saya jadi kecanduan meski tak dibayar. Dalam sebulan, sekitar 300 sekolah saya datangi. Mereka mengetahui saya dari informasi mulut ke mulut. Saya juga diminta mengajar di kelas dalam bentuk seminar. Saya makin menyadari dan menemukan diri saya cocok menjadi sociopreneur, seseorang yang mengusahakan sesuatu tapi hasil keuntungannya tidak 100 persen untuk dia. Akhirnya, pada 2011, saya dirikanSAS Foundation. Saya punya lima karyawan. Juga mendidik para freelance trainer untuk menjadi motivator, jika saya berhalangan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah.

Dari mana sumber dananya?

Dengan memanfaatkan dana hibah dari keluarga besar yang ratarata adalah pengusaha. Dalam sebulan kami kumpulkan uang bersama untuk membuat program. Bisa berupa produksi untuk konten teve lokal, membuat majalah, album religi, penyuluhan ke masyarakat, sekolah, dan panti-panti. Bantuannya memang bukan berupa uang tapi ilmu. Bedanya saya dengan sociopreneur lain, mungkin karena saya tidak meminta dana kepada orang lain, tapi lebih memanfaatkan apa yang saya dan keluarga besar miliki. Kegiatan- kegiatan di SAS Foundation banyak bergerak di bidang sosial. Agar dana tetap bisa berputar dan bertahan, saya pikir harus bikin produk seperti jilbab, majalah, buku, aksesori, atau CD, yang bisa dijual. Semua keuntungan itu tidak saya ambil semuanya. Saya hanya ambil 10 persen untuk gaji, selebihnya pemutaran untuk cash flow di berbagai kegiatan yayasan. Sementara di komunitas Pinky Hijab, setahun belakangan bentuknya menjadi semacam koperasi yang berisi para re-seller. Dari 1.700 member se-Jabodetabek, sejumlah 300 member aktif menjadi re-seller untuk berbagai produk yang dihasilkan SAS Foundation. Sistemnya berdasar kepercayaan dan berlaku top up jika penjualan dan penyetorannya bisa tepat waktu.

Apa yang dirasakan setelah menyebut diri sebagai sosioprebeur?

Hikmahnya, saya merasa sangat bersyukur dari segi duniawi. Bagi mereka yang masih kekurangan, saya merasa harus membimbing dan menginspirasi mereka agar bisa sukses. Contoh, ketika menjadi motivator untuk para remaja. Ketika saya datang dan memotivasi, mereka bahkan belum tentu paham apa yang didengarkan. Tapi mereka melihat sosok yang menginspirasi. Hasilnya, ada murid SMP yang mengirim SMS, bercerita tentang sekolahnya dan ingin menjadi seperti saya. Saya senang memotivasi mereka, karena ingat kiprah leluhur saya yang berasal dari Arab. Mereka menyebarkan ilmu tanpa pamrih. Saya terinspirasi harus bisa lebih bermanfaat bagi mereka. Sebaliknya, dengan menjadi motivator saya justru mendapatkan ilmu dari hasil sharing.

Misalnya? 

Kita melihat banyak motivator untuk problem orang dewasa. Tapi untuk remaja, jumlahnya masih sangat jarang. Padahal, problema mereka juga penting untuk diarahkan ke solusi yang membangun diri mereka. Biasanya, sih, berkisar tentang cinta, pengaturan keuangan, pengembangan talenta, ada juga yang tentang konflik keluarga. Nah, kalau remaja dari golongan menengah ke atas, mungkin bisa saja mereka datang ke psikolog, konsultan, atau motivator. Tapi untuk golongan menengah ke bawah? Tentu mustahil, karena mereka utamanya memikirkan kebutuhanpokok dulu untuk hidup. Makanya, fokus saya lebih berupa aksi sosial untuk mereka. Sementara untuk program teve lokal, isinya lebih ke curhat tentang masalah remaja.

Problema mereka umumnya karena tak punya teman untuk mengarahkan bakat mereka atau bentuk kecerdasan apa saja yang bisa dioptimalkan. Yang mereka tahu adalah bekerja dengan ijazah yang mereka punya. Padahal, harus mengandalkan bakat juga untuk bersaing di industri kreatif, misalnya.

Omong-omong, apa latar belakang pendidikan Anda?

Saya sekolah di SMK, jurusan farmasi dan kuliah di bidang ekonomi. Tapi, sebelum kuliah saya diminta Papa untuk masuk pesantren di Bekasi. Sebenarnya saya enggan. Akhirnya, kami buat perjanjian, saya hanya tinggal tiga bulan di pesantren. Namun baru seminggu di pesantren, mindset saya malah berubah dan di sana saya isi kegiatan dengan menulis novel. Setelah itu, semua kegiatan saya terkait pekerjaan mengalir begitu saja. Padahal mayoritas keluarga Arab punya pakem, perempuan harus di rumah dan pasif. Saya termasuk yang dipandang aneh karena terlalu banyak kegiatan. Buat keluarga Arab yang fanatik, malah perempuan tidak boleh pergi-pergi. Ada juga sepupu saya yang sudah menikah di usia 15 tahun, tidak kuliah atau bekerja.

Bagaimana meyakinkan keluarga bahwa perempuan juga berhak bekerja?

Alhamdulillah, pola pikir orangtua saya cukup modern. Saya bisa bebas berkarya dan mencoba banyak hal, asal tetap mematuhi norma-norma adat yang berlaku. Jadi saya bisa membuktikan kepada orangtua, saya bekerja bukan hurahura. Keaktifan saya bermanfaat untuk orang banyak. Kendati saya anak pertama dari delapan bersaudara, adik-adik saya juga aktif di berbagai kegiatan. Bersyukur, kendala dari keluarga tak ada, sebab mereka mendukung dari segi materi dan non-materi. Saya sejak kecil memang sudah diikutkan banyak les, harus salat lima waktu, sedekah, puasa Senin dan Kamis. Tapi soal pakai cadar, terserah mau pakai atau tidak.

Lalu?

Niat utama saya adalah ibadah agar menjadi manusia yang bermanfaat. Saya juga semangat, karena ada anak dan ingin membanggakan kedua orangtua. Bentuknya tak mesti usaha dengan omzet miliaran rupiah. Bisa dikatakan saya berani mendobrak pakem tradisi keluarga Arab. Ada, sih, komentar dari keluarga besar. Katanya, ngapain capek-capek mengurus kegiatan duniawi? Setelah menikah, ya, sudah di rumah saja jadi istri dan ibu yang baik. Saya jawab, kalau bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak, kenapa tidak? Ada juga teman yang pernah tertarik ikut kegiatan saya, misalnya bikin album religi. Tapi mereka harus bilang orangtuanya dulu dan belum tentu disetujui. Ya, masing-masing punya jalan hidup sendiri. Termasuk saya, yang juga divonis dokter sebagai odapus (orang dengan penyakit lupus).

Apa reaksi Anda? Bagaimana menjalani berbagai kegiatan meski menderita lupus?

Awalnya tentu kaget, saat itu usia saya masih 19 tahun. Kalau sedang road show memberi motivasi ke sekolah-sekolah, saya sering pingsan. Makanya, saya mendidik trainer agar undangan dari sekolah tetap bisa terpenuhi. Saya sering merasa cepat capek. Kalau dianalogikan baterai handphone, saya hanya bisa berfungsi seperempat atau setengahnya. Selain sakit kepala dan batuk-batuk, tulang-tulang juga terasa ngilu. Tapi kalau hanya diam saja di rumah, saya tak betah karena dihantui rasa sedih dan ingin mati akibat menderita penyakit ini. Meski takut dengan sisa hidup saya, tapi saya berangsur mau menerima kenyataan harus hidup dengan penyakit lupus. Jadi, sejak awal saya tak melakukan pengobatan. Saya memilih cara herbal, minum racikan habbatus sauda, madu, dan zaitun. Cara saya melawan lupus, ya, dengan selalu menganggap diri sehat meski sebenarnya tak sehat 100 persen. Penyakit apa pun, kalau disyukuri tak akan jadi masalah. Toh, meski menderita lupus, saya tetap berkegiatan. Dari hal itu, saya mendapat penghargaan Young Caring Professional Award 2012, masuk dalam 50 orang terpilih untuk Satu Indonesia Award 2012, juga Perempuan Inspiratif NOVA 2013.

Bagaimana rasanya terpilih sebagai Perempuan Inspiratif NOVA 2013?

Tentu saja senang dan bangga. Saya yakin bisa berbagi inspirasi dengan semua perempuan Indonesia. Soal sociopreneur misalnya, resepnya yakin pada diri sendiri, lalu temukan hobi yang disukai agar bisa potensial menjadi bisnis. Jika menjalankan bisnis berdasar hobi, pasti akan enjoy. Juga jangan terlalu money oriented. Ikuti juga berbagai macam komunitas. Dari situ akan menemukan inspirasi sendiri yang sesuai dengan minat dan lingkungan. Poin terpenting adalah bagaimana caranya orang lain bisa ikut terinspirasi dan sukses pada akhirnya. Tapi sebagai perempuan juga tetap utamakan keluarga dengan pembagian waktu yang efektif. Bagi pembaca yang juga terkena diagnosis suatu penyakit, jangan terus- menerus dipikirkan, nanti malah jadi semakin sakit. Obatnya, jangan murung di kamar atau menyesali keadaan, tapi sebaiknya berpikir bagaimana supaya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain sebelum meninggal dunia. Nanti pas meninggal dunia, sudah ada bekal untuk di akhirat.

Ke depan, apalagi yang akan dilakukan?

Kami akan membangun rumah multitalenta di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan kota-kota lain. Rumah ini berisi segala macam les gratis untuk pengembangan bakat yang dimiliki anak-anak. Nantinya akan ada ruangan khusus untuk menari, menyanyi, belajar desain grafis, melukis dan lain-lain. Alasan utama saya membangun rumah multitalenta, jika anak-anak menengah ke atas bisa ikut les, tapi yang dari menengah ke bawah belum tentu bisa. Dari hasil motivasi dan pengajian selama ini di berbagai sekolah, saya melihat kebutuhan itu. Semoga bisa segera terwujud.

Swita A Hapsari