Kasus Video Porno Siswa SMP, Mencegah Aksi "Liar" Generasi Digital

By nova.id, Rabu, 6 November 2013 | 04:16 WIB
Kasus Video Porno Siswa SMP Mencegah Aksi Liar Generasi Digital (nova.id)

Kasus Video Porno Siswa SMP Mencegah Aksi Liar Generasi Digital (nova.id)

"foto: henry ismono/nova "

Beredarnya video asusila pelajar SMPN 4, Jakarta, beberapa waktu lalu menghebohkan masyarakat. Apalagi dilakukan di dalam kelas dan disaksikan sejumlah siswa lain. Bagaimana orangtua meski bersikap?

Wajah AS (53) tampak murung. Beberapa kali ia mengusapkan tangan ke wajahnya. Ia memang sangat sedih dan terpukul. Betapa tidak, putrinya, AE (16), disebut-sebut sebagai pelaku perempuan dalam adegan tak senonoh pelajar SMPN 4 Jakarta yang beredar luas.

Apalagi muncul pemberitaan, perbuatan putrinya itu dilakukan suka sama suka. Di hadapan wartawan di Komnas PA, Selasa (29/10) AS menyampaikan testimoninya atas peristiwa itu. Sambil menahan tangis, AS menuturkan putrinya melakukan perbuatan intim dengan adik kelasnya, FP, atas paksaan teman mereka, A dan C.

Harus Terlihat EnjoyCerita pedih ini, menurut AS, bermula pada 13 September. Sepulang sekolah putrinya ingin menemui temannya berinisal R yang piket di lantai 4 sekolah. "Anak saya bertemu R dan adik kelasnya, FP. Mereka bertiga sempat mengobrol sampai akhirnya R pamit mau beli minum," kisah AS yang saat bercerita didampingi Ketua Komnas PA Ariest Merdeka Sirait.

Saat berdua itulah, lanjut AS, FB mencium bibir putrinya dan meraba-raba bagian tubuh AE. AE berusaha berontak dan melepaskan diri. Kisah itu rupanya berbuntut panjang. Tanggal 27 September, AE terlibat pertengkaran dengan A dan C. Ihwal pertengkaran, lantaran A dan C mengaku melihat kejadian di lantai atas yang dilakukan FP terhadap AE. Mereka pun memaksa AE melakukan adegan tak senonoh dengan FP. "Anak saya diajak ke lantai atas dan dipaksa berbuat asusila. Dia diancam teman-temannya," ujarnya AS dengan wajah tertunduk.

Saking sedihnya, AS tak sanggup melanjutkan ceritanya. Selanjutnya, Ariest yang meneruskam kisah miris itu. Di lantai atas itulah, AE dipaksa melakukan tindakan tak pantas itu dengan arahan temannya. Bak pembuatan film, ada sutradara dan juru rekam dengan kamera HP. "AE disuruh senyum dan harus tampak enjoy."

Sebenarnya, AE berusaha menolak. Namun A mengancam akan melaporkan tindakan asusila yang dilihatnya itu kepada salah seorang guru. "Kalau lo enggak mau, gue akan laporin ke Ibu D dan gue sebarin filmnya," begitu kira-kira ancaman yang disampaikan A kepada AE.

Perbuatan itu sudah berhasil direkam. Bahkan, kawanan pelajar ini tiga kali membuatnya dengan tokoh pemeran yang sama. Semua dilakukan dengan paksaan. Soal pemaksaan ini, lanjut Ariest, terlihat dari akun Twitter yang ditulis AE. Ada pembicaraan lewat Twitter sebelum adegan dilakukan. "Pembicaraan dilakukan sebelum mereka akan mem-bully AE. Adanya bullying itu juga terdengar dari rekaman video. Misalnya saja, perintah untuk mencium," ungkap Ariest.

Video rekaman yang sudah terlanjur tersebar itu, tentu sangat memukul batin AE. Ia merasa masa depannya suram. "Masa depannya sudah hancur. Bagaimana dengan nasibnya? Untuk bertemu keluarga saja, kami sudah tak punya harga diri," ratap AS yang anaknya untuk sementara tak lagi sekolah. Sang anak juga minta pindah sekolah karena malu. Namun AS belum memindahkan anaknya karena alasan biaya.

Menunjukkan Identitas Kasus asusila yang melibatkan para pelajar SMP itu mengundang keprihatinan Esther Widhi Andangsari, M. Psi., Psi, psikolog remaja dari Universitas Bina Nusantara. Esther yang sudah lama interest dengan persoalan remaja, mengatakan, kasus asusila yang terjadi pada anak SMP sebenarnya bukan hal baru.

Secara teori Esher mengungkapkan, usia anak-anak SMP termasuk masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Di usia remaja itu, mereka mulai mengembangkan tentang identitas diri dan mulai semakin serius menggali konsep diri. "Di usia remaja seperti itu, penting dia tahu 'Saya ini siapa. Bagaimana di mata orang dan di mata saya sendiri.' Sebenarnya itu memang bagus, karena dia harus tahu jati dirinya. Masalahnya, cara untuk mencapai ke sana, terkadang salah," paparnya.

Kasus remaja belasan tahun yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan memotret spedometernya untuk kemudian mengunggahkan ke media sosial, termasuk salah satu contoh yang salah dari upaya pencarian diri itu. Termasuk juga kasus asusila anak SMP itu. Untuk menunjukkan "kehebatan" di hadapan teman-temannya, mereka tak malu berciuman atau bercumbu di depan temannya. "Apalagi bila mereka berada dalam satu kelompok. Itu untuk menunjukkan identitas di depan kelompoknya."