Wajah AS (53) tampak murung. Beberapa kali ia mengusapkan tangan ke wajahnya. Ia memang sangat sedih dan terpukul. Betapa tidak, putrinya, AE (16), disebut-sebut sebagai pelaku perempuan dalam adegan tak senonoh pelajar SMPN 4 Jakarta yang beredar luas.
Apalagi muncul pemberitaan, perbuatan putrinya itu dilakukan suka sama suka. Di hadapan wartawan di Komnas PA, Selasa (29/10) AS menyampaikan testimoninya atas peristiwa itu. Sambil menahan tangis, AS menuturkan putrinya melakukan perbuatan intim dengan adik kelasnya, FP, atas paksaan teman mereka, A dan C.
Harus Terlihat EnjoyCerita pedih ini, menurut AS, bermula pada 13 September. Sepulang sekolah putrinya ingin menemui temannya berinisal R yang piket di lantai 4 sekolah. "Anak saya bertemu R dan adik kelasnya, FP. Mereka bertiga sempat mengobrol sampai akhirnya R pamit mau beli minum," kisah AS yang saat bercerita didampingi Ketua Komnas PA Ariest Merdeka Sirait.
Saat berdua itulah, lanjut AS, FB mencium bibir putrinya dan meraba-raba bagian tubuh AE. AE berusaha berontak dan melepaskan diri. Kisah itu rupanya berbuntut panjang. Tanggal 27 September, AE terlibat pertengkaran dengan A dan C. Ihwal pertengkaran, lantaran A dan C mengaku melihat kejadian di lantai atas yang dilakukan FP terhadap AE. Mereka pun memaksa AE melakukan adegan tak senonoh dengan FP. "Anak saya diajak ke lantai atas dan dipaksa berbuat asusila. Dia diancam teman-temannya," ujarnya AS dengan wajah tertunduk.
Saking sedihnya, AS tak sanggup melanjutkan ceritanya. Selanjutnya, Ariest yang meneruskam kisah miris itu. Di lantai atas itulah, AE dipaksa melakukan tindakan tak pantas itu dengan arahan temannya. Bak pembuatan film, ada sutradara dan juru rekam dengan kamera HP. "AE disuruh senyum dan harus tampak enjoy."
Sebenarnya, AE berusaha menolak. Namun A mengancam akan melaporkan tindakan asusila yang dilihatnya itu kepada salah seorang guru. "Kalau lo enggak mau, gue akan laporin ke Ibu D dan gue sebarin filmnya," begitu kira-kira ancaman yang disampaikan A kepada AE.
Perbuatan itu sudah berhasil direkam. Bahkan, kawanan pelajar ini tiga kali membuatnya dengan tokoh pemeran yang sama. Semua dilakukan dengan paksaan. Soal pemaksaan ini, lanjut Ariest, terlihat dari akun Twitter yang ditulis AE. Ada pembicaraan lewat Twitter sebelum adegan dilakukan. "Pembicaraan dilakukan sebelum mereka akan mem-bully AE. Adanya bullying itu juga terdengar dari rekaman video. Misalnya saja, perintah untuk mencium," ungkap Ariest.
Video rekaman yang sudah terlanjur tersebar itu, tentu sangat memukul batin AE. Ia merasa masa depannya suram. "Masa depannya sudah hancur. Bagaimana dengan nasibnya? Untuk bertemu keluarga saja, kami sudah tak punya harga diri," ratap AS yang anaknya untuk sementara tak lagi sekolah. Sang anak juga minta pindah sekolah karena malu. Namun AS belum memindahkan anaknya karena alasan biaya.
Menunjukkan Identitas Kasus asusila yang melibatkan para pelajar SMP itu mengundang keprihatinan Esther Widhi Andangsari, M. Psi., Psi, psikolog remaja dari Universitas Bina Nusantara. Esther yang sudah lama interest dengan persoalan remaja, mengatakan, kasus asusila yang terjadi pada anak SMP sebenarnya bukan hal baru.
Secara teori Esher mengungkapkan, usia anak-anak SMP termasuk masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Di usia remaja itu, mereka mulai mengembangkan tentang identitas diri dan mulai semakin serius menggali konsep diri. "Di usia remaja seperti itu, penting dia tahu 'Saya ini siapa. Bagaimana di mata orang dan di mata saya sendiri.' Sebenarnya itu memang bagus, karena dia harus tahu jati dirinya. Masalahnya, cara untuk mencapai ke sana, terkadang salah," paparnya.
Kasus remaja belasan tahun yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan memotret spedometernya untuk kemudian mengunggahkan ke media sosial, termasuk salah satu contoh yang salah dari upaya pencarian diri itu. Termasuk juga kasus asusila anak SMP itu. Untuk menunjukkan "kehebatan" di hadapan teman-temannya, mereka tak malu berciuman atau bercumbu di depan temannya. "Apalagi bila mereka berada dalam satu kelompok. Itu untuk menunjukkan identitas di depan kelompoknya."
Hal ini terjadi antara lain karena kemudahan teknologi. Esther mengistilahkannya dengan teknologi, semua ada dalam genggaman. Misalnya saja dengan teknologi HP, semua ada di genggaman, mulai dari nomor telepon, lagu, catatan penting, video, dan seterusnya. "Bagi remaja, ini sangat menyenangkan. Remaja sekarang cepat menyerap apa pun, termasuk teknologi." Ditambah lagi, di masa sekarang ini banyak orangtua yang sibuk. Akibat kesibukannya, orangtua kadang kurang perhatian pada anak. Untuk menunjukkan perhatiannya, mereka banyak memberi fasilitas untuk anak.
Generasi DigitalEsther yang menyebut remaja sekarang dengan istilah generasi digital mengatakan, remaja bisa dengan cepat melakukan peniruan tentang apa yang diilihatnya. Pelajar yang merekam adegan asusila dan mengunggah di media sosial, bisa jadi karena peniruan ini. "Dia bangga justru ketika ada komentar, meski komentarnya jelek. Ketika dia merekam adegan itu, karena dia ingin menunjukkan identitas dirinya. Bagi dia, penting untuk mendapatkan pengakuan dari teman-temannya."
Bagi orangtua, nyaris tak mungkin menghindarkan anaknya dari teknologi dan informasi yang sedemikian cepat berkembang, termasuk soal seks. "Buat saya, informasi seks di kalangan remaja sebaiknya dibuka saja, tentu dengan penjelasan bagaimana sebaiknya. Pendidikan seks itu penting. Orangtua jangan merasa tabu mendiskusikan soal seksual kepada anaknya."
Keterbukaan bisa terjadi bila orangtua mampu menjadi teman bagi anaknya yang remaja. "Bila anak mengalami kesukaran, dia tahu kepada siapa mesti datang, tentu kepada orangtuanya," tutur Esther. Itu sebabnya, penting bagi orangtua untuk terus mengikuti tumbuh kembang anaknya. Zaman sekarang, tak mungkin orangtua melarang anaknya yang usia remaja untuk pacaran. Namun orangtua harus menjelaskan, bagaimana pacaran yang sehat, termasuk risiko bila hubungan itu kebablasan. "Soal seks bisa dijelaskan kepada anak, misalnya ketika putrinya sudah menstruasi. Orangtua menjelaskan bagaimana anak merawat alat reproduksinya."
Orangtua juga sebaiknya menggali informasi dari anak, apa yang dia tahu tentang seks, termasuk hubungan seksual. "Kalau hubungan orangtua dan anak dekat, pasti anak tak segan bercerita. Misalnya anak pernah melihat film porno, orangtua bisa bertanya apa yang membuat anaknya terperangah. Nah, orangtua kemudian menjelaskan, hubungan seksual bisa dilakukan tapi dalam lembaga yang sudah diresmikan. Tapi ingat, penjelasannya jangan seperti berceramah. Lakukan dalam suasana santai ibarat mengobrol sama teman. Intinya memang komunikasi dalam keluarga."
Pembatasan PulsaHubungan seperti teman inilah yang dilakukan Endah Gumonowati kepada kedua anaknya, terutama si sulung Olivia (12), siswi SMP Islam Terpadu Al Madina. Karyawati di Jakarta yang tinggal di Cibinong ini mengatakan, ia memang sibuk bekerja. Sang suami pun bekerja di luar kota. Namun ia berusaha menjalin kedekatan dengan buah hatinya. Salah satunya, ia membuat grup BBM dalam satu keluarga. "Jadi, kami tetap bisa saling komunikasi," ujarnya.
Komunikasi dengan anak, bagi Endah, menjadi hal yang sangat penting. Endah yang meski sampai rumah sekitar jam 20.00 - 21.00, "Anak-anak selalu menunggu saya sampai rumah. Caranya mungkin sederhana, saya biasa membawakan oleh-oleh buat anak-anak, seperti makanan ringan. Saya juga biasa bertanya tentang aktivitas anak-anak di hari itu."
Termasuk juga, Endah mendiskusikan soal video asusila pelajar SMP yang beredar itu. "Kebetulan pas sampai rumah, Olivia tengah menonton berita itu di teve. Saya sampaikan, siapa yang rugi dengan tindakan itu. Pasti perbuatan itu akan memalukan orangtua dan dirinya sendiri."
Endah mengaku sudah menyampaikan tentang pelajaran seksual pada Olivia sejak putrinya itu menstruasi di kelas 5 SD. Juga membicarakan akibat dari hubungan seksual. "Kalau pelajar berhubungan badan di luar nikah, tentu akan menyuramkan masa depannya. Ia bisa dikeluarkan dari sekolah, apalagi bila sampai hamil," papar Endah yang tak bisa tidak memberikan fasilitas HP pada anaknya.Meski begitu, Endah tetap membatasi pemakaiannya. Ia hanya memberi jatah pulsa Rp10 ribu per minggu. "Dengan demikian, dia tidak bisa mengakses, misalnya Youtube atau film. Kalau dia butuh browsing untuk tugas sekolah, misalnya, saya menemaninya dengan menggunakan laptop saya," papar Endah.Endah juga mengawasi pergaulan Olivia. Ia mencari tahu siapa teman-teman anaknya. Bahkan, ia berkomunikasi dengan para orangtua sahabat anaknya itu. Dengan cara seperti ini, "Saya akan tahu dengan siapa anak-anak saya berteman. Oh ya, secara berkala, saya selalu 'sidak' HP anak saya. Saat dia tidur, saya buka HP-nya. Saya jadi tahu, apa saja yang dia lakukan dengan HP-nya, juga obrolan apa saja dengan teman-temannya."
"Ibarat Piring Pecah"Selain keluarga, lingkungan dan sekolah menjadi faktor penting bagi anak-anak. Atiyah, S.Pd, guru Bimbingan Konseling (BK) SMPN 85, Jakarta Selatan, mengatakan, pihaknya juga bertanggung jawab terhadap anak-anak didiknya. Atiyah dan empatrekan guru BK lainnya juga menyelipkan tentang pendidikan seks saat mengajar anak-anak seminggu sekali.
"Kepada anak-anak saya sampaikan, perempuan itu seperti piring kaca sementara lelaki mirip piring plastik. Piring kaca, kan, gampang pecah kalau terbentur sesuatu atau jatuh. Kalau pelajar putri sampai hamil akibat hubungan seks, dia seperti piring yang pecah berkeping-keping. Apalagi kalau cowoknya tidak bertanggung jawab. Masa depannya jadi suram karena dia akan menanggung malu. Bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah," kata Atiyah seraya mengatakan, pihak sekolah berusaha menjaga hal-hal yang tak diinginkan terjadi di sekolah.
Salah satu contoh, ketika pelajaran sekolah usai, pihak sekolah akan mengunci semua kelas, sehingga para siswa tak berlama-lama di sekolah. Kalaupun misalnya anak-anak menunggu jemputan, "Kami sarankan untuk menunggu di kantin atau teras. Tidak di dalam kelas. Dengan cara menontrol dan memberi pengawasan dari pihak keamanan sekolah, kasus yang terjadi di sekolah lain jangan sampai terjadi di sekolah kami," kata Atiyah yang menjalin hubungan dekat dengan anak didiknya.
Ia pun paham bahasa gaul remaja sekarang. Misalnya, ketika ia mendekati siswa, "Murid berkomentar, 'Bu guru SKSD, deh. Sok Kenal Sok Dekat. Tapi karena saya mengobrol seperti teman, anak-anak pun nyaman mengobrol dengan saya. Anak-anak juga tak segan curhat tentang masalahnya. Yang terbanyak memang curhat soal pelajaran. Tapi ada juga pelajar putri yang curhat soal pacar. Nah, saya menjelaskan, meski pacaran jangan mau dipegang-pegang. Mesti jaga diri baik-baik. Kalau sudah ternoda, belum tentu lingkungan akan menerima kamu."
Atiyah menjelaskan, pihak sekolah tak bisa melarang anak-anak didiknya menggunakan HP karena atas keinginan orangtua. Namun pihak sekolah ikut mengawasi. Secara berkala, "Kami melakukan razia secara acak. Kalau kedapatan ada gambar porno, kami akan panggil anak dan orangtuanya," kata Atiyah seraya mengatakan kontrol memang penting.
Henry
Foto: Henry Ismono/Nova