Kekuatan cinta mampu mengubah hidup seseorang ke arah yang lebih positif. Setidaknya, begitulah apa yang hendak disampaikan oleh Tino Kawilarang dan Monty Tiwa, selaku produser dan sutradara dalam film layar lebar Sampai Ujung Dunia. Film produksi Nasi Putih Pictures yang berdurasi 90 menit dan pengambilan gambarnya di Jakarta-Amterdam ini mengisahkan tiga anak manusia yang bersahabat sejak kecil hingga remaja dan menjelang dewasa. Tentu, alur cerita yang sederhana menjadi sangat menarik, lantaran bukan saja ditunjang oleh kekuatan cerita, melainkan pemilihan para tokoh yang terlibat di film tersebut sangat tepat.
Gilang (Gading Marten) Daud ( Dwi Sasona) dan Anissa (Renata Kusmanto) menjadi tokoh sentral yang didampingi oleh pemain senior seperti Roy Marten, Chintami Atmanagara, Sudjewo Tedjo dan Sita Nursanti.
Adalah Anissa yang dititipkan oleh ibu kandungnya dipanti asuhan lantara sang ibu, Chintami Atmanagara hengkang menjadi istri dari suami yang bekerja di Belanda. Kehidupan di panti, bagi Anissa kecil sangat terbatas, tak selayaknya orang yang diberi perhatian penuh, baik secara sandang, pangan dan kasih sayang. Untuk yang disebut kasih sayang itu, Anissa tak pernah mendapatkan seperti kebanyakan anak-anak kecil seusianya. Nelangsa .
Untuk menghibur Anissa kecil, ibu panti memberikan perhatian pada Anissa. Nyaris setiap bulan, Anissa mendapatkan kiriman surat dari sang ibu yang bekerja di Belanda. Ketika Anisa berangkat remaja, barulah ia ketahui, ternyata surat-surat tersebut yang menulisnya tak lain ibu panti sendiri.
Di sisi lain, pertemanan Anissa bersama Gilang dan Daud, di luar panti asuhan sudah seperti keluarga --- jika tak dibilang kaka beradik. Anissa lebih cocok disebut sebagai adik, mengingat parawakan Anissa meski cantik dan mengoda, ia sebenarnya, wanita ringkih, butuh perlindungan lahir batin. Anissa punya penyakit kelainan jantung. Persahabatan yang terbina bak air sungai mengalir, mengalami 'pasang surut'. Setidaknya, setelah mereka berangkat remaja. Kadang keruh, jernih lantaran dipicu api cemburu.
Proses kreatif dari scene ke scene di film ini boleh diacungkan jempol. Pasalnya, keretakan hati diantara ketiga tokoh sentral tersebut, ya mengalir seperti air. Tak ada kesan dipaksakan. Realitas kehidupan nyata divisualkan , dipertontonkan banyak orang. Bedecak, kagum! Perubahan mendasar terjadi pada perasaan sayang Gilang, Daut pada Anissa berubah menjadi cinta yang mendalam. Dengan kepiawian sutradara, film ini menjadi lebih dramatis diolahnya, maski tak berdarah-darah, hati tetap terluka.
Gilang yang berangkat dari keluarga orang berada, merasa mampu mengatasi kesulitan yang dialami oleh Anissa. Sementara, Daut dari keluarga marginal, orang tuanya Sudjewo Tejo, hanyalah tukang permak levis, rumahnya bedeng, diperkampungan kumuh, tiidak mungkin bisa membantu Anissa. Justru di dibeberapa scen, Anissa yang dapat membantu keluarga Daut. Apakah ini bentuk lain cara Anissa sayang dan cinta pada Daut?
Dan, ketika Anissa mengalami depresi, hingga jatuh pingsan lantaran ditempat bekerja ia kena marah oleh atasan, boleh jadi, 'dewa' yang bisa membawa Anissa ke rumah sakit dan untuk tinggal sementara, hanyalah di rumah orang tua Gilang. Sementara, Daut terpanggil juga untuk dapat membantu Anissa sekenanya. Akan tetapi, apa boleh buat, takdir bicara lain, ''Biar Anissa di rumah gue saja dulu," kilah Gilang pada Daut, saat Anissa harus banyak istirahat.
Daut pun seolah pasrah, meski jiwa lelaki-lakinnya terpanggil, "Di rumah gue saja," celetuk Daut spontan pada Gilang. Nampak, Daut cemburu luka. Sementara, Gilang santai saja merasa diatas angin. Dari sini lah, api cemburu mulai membara, tak jarang diantara Daut dan Gilang saling memberi perhatian khusus untuk Anissa. Bahkan, Daut-Gilang sempat berkelahi, hanya hal sepele untuk Anissa.
Sebagai 'adik', Anissa, merasa punya kewajiban untuk kaka-kakaknya itu bisa terus maju dalam soal dunia pendidikan. Film ini pun memberikan inspirasi dan pencerahan bagi penontonya. Setidaknya, ketika magnet cinta Daut, Gilang begitu besar pada Anissa, mereka menunujkan dirinya untuk tampil jadi orang yang nomer satu bisa maju, baik secara karir dan finasial. Pesan moral secara implisit memang disuguhkan dalam film Sampai Ujung Dunia ini, hidup disiplin bakal menui sukses.
Meski Gilang anak mama, Gilang akan membuktikan diri, bahwa dia bisa maju bukan karena fasilitas orang tua. Sekolah penerbangan yang dipilih Gilang, suatu bukti, dirinya mampu karena otaknya juga.
Cita-citanya Daut ingin masuk STIP (Sekolah Tinggi Pelayaran, red). Tentu terbentur biaya. Sudjewo Tedjo yang kerap mengkritisi kehidupan sosial ini, hanya bisa menarik napas. Gestuer tubuh dan mimieknya di film ini mewakili banyak bicaranya dari seniman satu ini, bahwa ia protes pada dunia pendidikan yang begitu mahal, ia seperti menyesal ditakdirkan jadi ayah miskin, ia juga cenderung ngotot untuk anaknya dapat mengenyam pendidikan tinggi. Namun, apa daya, kemampuan finansialnya sangat amat terbatas. Demi Anissa, Daut pun ambil jalur biasiswa, muaranya, ia berhasil.
Perseteruan tentang berkutatnya perasaan cinta Daut, Gilang pada Anissa, memberikan gambaran, bahwa cinta adalah cinta. Cinta bukan sahabat atau persahabatan. Untuk cinta, seseorang bisa saja melakukan hal-hal yang tak biasa mereka lakukan. Akan tetapi, cinta yang didasari dari sebuah persahabatan, tentunya ada pakem-pakem yang naïf untuk dilanggar diantara mereka. Setidaknya, begitulah yang dituangkan dalam film ini.
Tersirat, hubungan cinta Daut,Gilang pada Anissa terasa aneh. Kok, bisanya satu perempuan, bisa 'menerima' dua lelaki dalam waktu nyaris bersamaan untuk datang ke hatinya demi cinta para lelaki tersebut pada dirinya. Itulah film Sampai Ujung Dunia. Seolah sang perempuan tersebut tak bisa menolak, karena tak mampu mengelaknya, lantaran kedua pria tersebut sahabat dari kecil. Maka, terjadilah improvisasai, seperti 'apel' bergiliran.
Lagi-lagi di sinilah kekuatan sang sutradara menyuguhkan cerita dalam bentuk visual yang menguras emosi penontonyan. Karena pertimbangan kultur pula, mana mungkin seorang wanita semisal Anissa mampu mengungkapkan terlebih dahulu pada salah satu teman prianya itu. Seolah di sini, Anissa menunggu mujizat dari langit, kelak pilihannya jatuh ke Daut atau ke Gilang, biarkan air yang mengalir bicara, bukan hati yang dipaksakan atau terpaksa, bicara. Memang, dalam kenyataan di film ini, pengemasan cinta segitiga tersebut diolah seolah tak ada yang dipaksakan untuk bicara pada sosok yang dicintainya itu, Anissa sendiri seolah menunggu, biar waktu yang menjawab.
Scen film ini diakhiri oleh pertemuan antara Daut dan Gilang saat mengahdap ibunda Anissa yang diperankan oleh Chintami Atmanagara di Belanda. Dua lelaki yang sukses dalam dunia pendidikan dan finansial ini, menghadap untuk bisa menjadi pelindung Anissa di masa depannya, sebagai suami.
Cara sutradara mengungkapkan cinta Daut dan Gilang pada Anissa ini cukup membuat berdecak kagum. Tak mungkin hubungan aneh ini mampu mereka pertahankan selama-lamanya. Sementara, sikap ingin saling memiliki sudah begitu kuat di hati Daut dan Gilang. Sikap Anissa di sini hanya menunggu keajaiban saja. Anisa tak mampu juga untuk meninggalkan Daut, jika kelak ia menjadi istri dari Gilang. Begitu juga sebaliknya. Yang nelangsa, hati retak, harus ada yang mengalah dengan bijak. Di sini lah visual bicara untuk penontonnya.M.Nizar