Butet tak berjuang sendiri. Selly Kusuma (34), ibu dua anak asal Semarang, termasuk salah satu penggugat BRIS. Selly berkisah, tertarik program gadai emas BRIS lantaran bunga pinjamannya yang kecil. "Kalau dibandingkan, BRIS bunga hanya 1,75 persen, sementara di pegadaian mencapai 2,5 persen," tutur wanita yang sebelum menggadai emas di BRIS sudah menjadi pelanggan gadai emas pegadaian selama bertahun-tahun.
Apalagi, di awal tahun 2011 BRIS sangat gencar melakukan promosi di Semarang. Selain menggelar seminar, BRIS juga kerap mendatangi kelompok pengajian untuk memasarkan produk mereka. Tertarik, Selly kemudian menggadai 900 gram emas. Uangnya, "Bukan punya saya sendiri, tapi juga uang keluarga," ujar perempuan berhijab ini.
Salah satu tujuan Selly mengambil program gadai emas, "Untuk biaya pendidikan anak-anak, Ananta Kusuma Putra (16) dan Audrey Putri Mahendra (3). Buat jangka panjang lah," tuturnya.
Seperti Butet, Selly tiba-tiba mendapati uang di dalam rekeningnya tak didebet lagi di akhir tahun 2012. BRIS, sebut Selly, bahkan tak mau mendebet bunga pinjamannya. Akibatnya, hingga beberapa lama kewajibannya makin menumpuk. "Aneh sekali, masa saya punya utang, mau bayar malah ditolak? Uangnya sudah ada, tinggal diambil, mereka sendiri yang tidak mau!" ujar Selly geram.
Akibatnya, nama Selly masuk dalam kategori kredit macet oleh BI. Ia terkena BI checking. "Saya hanya karyawan biasa yang kalau mau beli apa-apa harus melalui bank. Dengan BI checking, seolah-olah saya punya utang besar sekali ke BRIS. Padahal, keadaan itu mereka sendiri yang bikin," tukas Selly.
Setelah kasus ini, kisah Selly lagi, ketika ia mengajukan produk KPR sebuah bank swasta, "Permohonan itu tidak jadi disetujui dengan alasan saya sudah over payment. Ini, kan, merusak kredibilitas saya di mata bank," ujar pengelola sebuah koperasi di Semarang ini lagi.
Sudah banyak jalan yang ditempuhnya. Bahkan hingga menemui MUI Semarang. "Tak ada yang bisa membantu," kata Selly yang kemudian mendengar nama Butet Kartaredjasa juga menjadi korban. "Saya dapat nomor teleponnya dan memberanikan diri menghubungi Mas Butet. Ternyata tanggapannya sangat baik."
Kejadian ini membuat Selly trauma dengan produk-produk investasi meski ia juga menyadari, "Saya kecolongan akibat tak menanyakan dengan detail kepada BRIS soal gadai emas sebelum mendaftar. Tapi bagaimana mau tanya-tanya, saat daftar ke BRIS Cabang Majapahit Semarang, antrian mengular sehingga petugas tak bisa memberi penjelasan panjang lebar. Saya bahkan menyerahkan formulir jam 21.00, saking banyaknya peminat dan BRIS membuka loket hingga larut malam."
Lebih Baik Beli Tanpa Cicil
Melalui kuasa hukumnya, Affandi M, SH, MH, Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) angkat bicara. "Yang dilakukan BRIS sudah sesuai prosedur. Baik saat proses ikat kontrak, pemutusan kontrak, hingga penjualan aset," ujarnya menambahkan, "Mungkin nasabah salah tafsir. Ini produk gadai murni, bukan investasi. Kalau gadai sudah jatuh tempo, kewajiban nasabah untuk menebus barang yang digadaikannya."
Apalagi, sebut Affandi, sebelum masalah menjadi sepanjang ini, BRIS sudah pernah menawarkan opsi damai namun ditolak nasabah. Affandi juga menandaskan, barang siapa yang sudah menandatangani surat perjanjian, dapat diartikan orang itu mengerti dan setuju dengan perjanjian itu. "Ini ada undang-undangnya. Lalu mengapa mereka (Butet dkk) masih teriak-teriak?"
Sementara itu, peraturan Bank Indonesia (BI) soal gadai emas di bank syariah pada November 2012 lalu, membuat BI ikut terseret ke pengadilan. Edy Setiadi, Direktur Eksekutif Departemen Perbankan Syariah BI, membenarkan pada saat itu BI menemukan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan produk gadai emas oleh bank syariah sehingga harus mengeluarkan peraturan baru. "Ada pertumbuhan pembiayaan tidak wajar dan mengarah kepada transaksi yang sifatnya spekulatif. Maka, BI menghentikan transaksi itu."
Saat ini, agar kasus serupa tak terjadi lagi, BI mengeluarkan surat edaran tentang tata cara gadai melalui Surat Edaran Bank Indonesia. Dalam surat edaran ini, jumlah gadai maksimal per nasabah adalah sebesar Rp 150 juta. "Berdasarkan data selama ini, 96,8 persen nasabah meminjam di kisaran itu," sebut Edy.
Tuduhan Butet yang menyebut BI gagal melakukan perannya sebagai mediator, menurut Edy lewat surel kepada NOVA, adalah tidak benar. "BI sudah melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan sesuai kewenangannya. Kami juga telah melakukan upaya mediasi dengan mempertemukan kedua pihak yang bersengketa. Bila nasabah masih merasa dirugikan, mereka bisa menempuh jalur hukum," tulisnya.
Kasus ini menunjukkan, emas masih jadi idola bagi mereka yang ingin melakukan investasi jangka panjang. Fauziah Arsiyanti, SE, MM, ChFC, Independeni Financial Advisor dari PT Fahima Advisory membenarkan. "Tidak usah cicil-cicil. Kalau ada uang, beli saja apa adanya," nasihatnya.
Kasus gadai emas yang menimpa Butet dan nasabah BRIS lain, dipandang Fauziah memiliki banyak unsur spekulasi. "Antara lain, tingkat suku bunga dan harga emas yang fluktuatif." Banyak orang memang tergiur janji-janji produk investasi yang terlalu indah. Kata Fauziah, "If it's too good to be true, than it is too good to be truth. Selidiki dulu, tanya berulang kali sampai jelas."
Sebagai calon investor, masyarakat memang dituntut untuk banyak belajar. "Media informasi sudah banyak tersedia, tinggal keinginan kita untuk banyak bertanya sebelum berinvestasi," sarannya.
Astudestra Ajengrastri