Kasus pencucian uang pertama yang terungkap sekaligus terbesar di Indonesia karena melibatkan uang negara Rp 1,3 triliun dan Yenti menjadi saksi ahlinya adalah kasus Adrian Waworuntu pada 2004. Seringkali, ia jadi satu-satunya perempuan di antara para pria, baik di persidangan maupun saat jadi pembicara. Bukan gentar atau minder yang ia rasakan, meski tak jarang lawan bicaranya keras mempertahankan pendapat.
"Saya malah bangga karena yang mereka dengar pendapatnya adalah perempuan. Bolehlah saya beda jenis kelamin, tapi saya lebih leading dari mereka," ucapnya. Namun terkadang ia lupa, dirinya berbeda dari mereka. "Kalau badan sudah terasa pegal seusai acara atau sidang, barulah sadar, oh ya, saya ini perempuan. Ha ha ha," ia tergelak.
Bergelut di bidang ini, menurut Yenti, sebetulnya berat. Biasanya, ia dihadirkan jaksa atau pengacara untuk kasus kejahatan besar. Jadi saksi ahli dalam persidangan seringkali melelahkan. Apalagi, jadwal kesaksian bisa mundur sekian belas jam. "Pernah, saya baru dipanggil bersaksi pukul 01.00, padahal dijadwalkan pagi. Ini tak rasional. Dalam keadaan lelah, apakah hakim bisa menerima penjelasan dengan baik dan saya bisa memberi penjelasan dengan maksimal?"
Dalam sidang, ia menuturkan, biasanya ada 5 hakim tipikor, 5 jaksa, dan 3-20 pengacara yang harus ia hadapi. "Semuanya mencecar saya dengan pertanyaan bertubi-tubi, terkadang di luar dugaan. Mereka bergantian bertanya, sementara saya harus terus-menerus menjawab secara maraton. Pernah, kesaksian saya berlangsung sampai 3,5 jam. Tenggorokan sampai kering," kenangnya.
Yenti mengaku selalu bicara apa adanya. "Saya harus tetap berada di area clean and clear, tak bisa dipengaruhi orang lain untuk menyatakan yang tak benar atau membela pihak tertentu. Itu prinsip saya. Meski beberapa kali ada yang coba menyuap, saya tak mau. Bagaimanapun, saya harus tetap jaga nama baik ayah saya," tegasnya.
Kendati sejauh ini tak ada teror, untuk berjaga-jaga, sepulang dari persidangan ia selalu minta dikawal. Yang juga jadi bebannya, "Jika saya salah menyampaikan atau ditolak hakim dan saya tak bisa mempertahankannya, nama baik, gelar, serta institusi pendidikan tempat saya mengajar dipertaruhkan."
Itu sebabnya, ia selalu menasihati diri untuk bicara hati-hati, serius, dan bermutu. Prinsipnya, ketika bicara orang yang nonton atau lawan bicaranya harus mendapatkan sesuatu yang berguna darinya. Namun Yenti menambahkan, ia bukanlah perempuan keras seperti yang diduga banyak orang. "Saya tetap ibu rumah tangga yang sepulang sidang atau kerja, tetap harus mengurus rumah, memastikan agar rumah tetap rapi," tutur Yenti.
Ia juga mengaku tetap menyukai kesenian seperti yang diajarkan ayahnya, Kol. (P) Soepantho. Saat ia remaja, ayahnya yang saat itu jadi Bupati Purworejo, ingin ia jadi penyanyi dan penari tradisional. Yenti remaja juga ikut kursus melukis. "Saya tetap Yenti yang berada in between kesenian, ibu rumah tangga, dan pekerjaan. Satu lagi, saya selalu melangkah dengan pendekatan berdasarkan agama," ujar Yenti yang sebelum kuliah hukum pernah menjadi manajer sebuah TK milik Yayasan Siliwangi, Bandung.
Kendati jadi anak bupati dan guru, Yenti tak manja. "Justru saya harus memberi contoh agar jangan terlena, tetap harus prihatin, dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu," ujar Yenti. Ia sangat kehilangan saat ibunya, Nany Suryani, meninggal 3 tahun silam, disusul ayahnya 100 hari kemudian. Padahal, sebelumnya ia selalu menelepon mereka, minta doa restu tiap akan muncul di teve. "Kini tak ada lagi yang dipamiti, tapi tak apa-apa. Masih ada Tuhan."
Hasuna Daylailatu