3 Perempuan Tak Biasa Berjaya di Antara Kaum Pria (1)

By nova.id, Kamis, 11 April 2013 | 09:05 WIB
3 Perempuan Tak Biasa Berjaya di Antara Kaum Pria 1 (nova.id)

3 Perempuan Tak Biasa Berjaya di Antara Kaum Pria 1 (nova.id)

"Foto: Hasuna / NOVA "

Sosok perempuan masa kini seolah kian tanpa batas. Ia bisa menjadi apa saja dan berada di mana saja. Bahkan tak segan lagi saat harus bersaing di antara kaum pria. Ketiga profil perempuan berikut ini memiliki profesi yang masih jarang digeluti kaum Hawa. Mereka berjaya di tengah dominasi kaum pria di dunia kerjanya.

Yenti Garnasih

Doktor pencucian uang pertama di indonesia

Wajah dan nama perempuan ini tak lagi asing bagi masyarakat Indonesia. Berkali-kali Yenti Garnasih diminta menjadi pembicara di berbagai stasiun teve untuk kasus pencucian uang. Ya, sejak dinyatakan lulus dengan nilai amat memuaskan saat wisuda studi S3 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Maret 2003, Yenti merupakan doktor pertama bidang pencucian uang di Indonesia.

Padahal, awalnya pencucian uang bukan tema yang diinginkannya untuk disertasinya. Sebab, saat mengajukan beasiswa untuk kuliah doktoral (S3) pada 1998, bidang ini sama sekali belum populer di Indonesia. Apalagi, menurutnya, di era Orde Baru Undang-Undang Pencucian Uang (UUPU) agak mustahil diberlakukan. Indonesia baru memberlakukan UUPU pada 2002.

Jalan panjang ditempuh perempuan ramping ini untuk menjadi doktor bidang ini. Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat itu menyarankannya mengambil pencucian uang sebagai tema disertasi. Meski punya pemikiran lain, perempuan satu-satunya di angkatannya kala kuliah S3 ini menuruti permintaan itu. Ia pun harus ke Amerika Serikat, negara pertama yang memberlakukan UUPU di dunia.

Sebetulnya, pencucian uang bukan hal yang benar-benar baru bagi Yenti. Tahun 1993 selulus S2, ia sering jadi delegasi Indonesia untuk konferensi internasional mengenai crime prevention and treatment of offenders atau pencegahan kejahatan. Ini sesuai dengan topik yang diambilnya saat studi S1 dan S2. "Saya selalu ikut, tapi karena masih S2 dan jadi asisten beberapa guru besar, paling hanya dapat bagian mengetik atau menerjemahkan. Saya dipaksa dan ditarget mempelajarinya oleh para senior. Sampai di Indonesia saya harus buat laporan. Padahal, saya ngawur pun mereka tak akan tahu. Mereka bilang, tak akan dibaca karena tak menarik," kenang Yenti yang mendapat beasiswa S3 dari Universitas Trisakti, tempatnya mengajar hingga kini.

Saat mengambil S3 dan berangkat ke AS, ia mempelajari pencucian uang dengan membaca 600 jurnal dan 300 putusan Mahkamah Agung AS. "Saat akan lulus saya sedikit sombong. Saya merasa sebagai orang pertama di Indonesia yang mempelajari pencucian uang dengan sekian banyak referensi. Jadi merasa lebih menguasai dibanding yang lain. Setelah diuji 9 guru besar, saya merasa akan lulus cum laude," paparnya.

Ternyata, Yenti hanya mendapat nilai sangat memuaskan. Ia kecewa, merasa diperlakukan tak adil. Apalagi, selisih nilainya untuk meraih cum laude sangat tipis. Saat wisuda, ia berlinang air mata kecewa. Teman-temannya pun kecewa karena menurut mereka, ibu dari Ratnaningsih dan Tedy Surya ini layak meraih cum laude. Selama dua minggu, Yenti mengurung diri.

"Saat saya muncul di TVRI dan pembawa acaranya mempekenalkan saya sebagai doktor pertama di bidang pencucian uang di Indonesia, perasaan saya hambar saja," kenang perempuan yang selalu tampil rapi ini. Setelah dua minggu terpuruk, ia bertekad bisa meng-cum laude-kan diri dengan caranya. "Biarlah masyarakat yang melakukannya. Itu tekad saya. Sejak itu, saya terus menulis lalu saya kirim ke berbagai harian nasional."

September 2003, istri petinggi TNI AD Brigjen Bambang Prasetyo ini meluncurkan buku. Saat itu pula, harian Kompas memuat profilnya. Setelah itu, popularitas Yenti sebagai ahli di bidang hukum pencucian uang tak terbendung lagi. Ia sering diundang jadi pembicara di berbagai acara, termasuk stasiun teve. "Kekecewaan sudah saya ikhlaskan. Pada akhirnya, semua ilmu yang saya pelajari selama ini ternyata berguna bagi masyarakat," tuturnya merendah.

Hingga kini ia masih rajin menulis untuk harian nasional, Yenti juga kerap diminta memberi pelatihan dan ceramah bagi para penegak hukum di seluruh Indonesia. Ia pun mengajar S2 dan S3 di berbagai universitas, bahkan sampai ke Sulawesi. Yang kini makin sering dilakukannya, menjadi saksi ahli di persidangan kasus korupsi. "Kasus korupsi makin banyak, jadi saya makin sibuk."

Kasus pencucian uang pertama yang terungkap sekaligus terbesar di Indonesia karena melibatkan uang negara Rp 1,3 triliun dan Yenti menjadi saksi ahlinya adalah kasus Adrian Waworuntu pada 2004. Seringkali, ia jadi satu-satunya perempuan di antara para pria, baik di persidangan maupun saat jadi pembicara. Bukan gentar atau minder yang ia rasakan, meski tak jarang lawan bicaranya keras mempertahankan pendapat.

"Saya malah bangga karena yang mereka dengar pendapatnya adalah perempuan. Bolehlah saya beda jenis kelamin, tapi saya lebih leading dari mereka," ucapnya. Namun terkadang ia lupa, dirinya berbeda dari mereka. "Kalau badan sudah terasa pegal seusai acara atau sidang, barulah sadar, oh ya, saya ini perempuan. Ha ha ha," ia tergelak.

Bergelut di bidang ini, menurut Yenti, sebetulnya berat. Biasanya, ia dihadirkan jaksa atau pengacara untuk kasus kejahatan besar. Jadi saksi ahli dalam persidangan seringkali melelahkan. Apalagi, jadwal kesaksian bisa mundur sekian belas jam. "Pernah, saya baru dipanggil bersaksi pukul 01.00, padahal dijadwalkan pagi. Ini tak rasional. Dalam keadaan lelah, apakah hakim bisa menerima penjelasan dengan baik dan saya bisa memberi penjelasan dengan maksimal?"

Dalam sidang, ia menuturkan, biasanya ada 5 hakim tipikor, 5 jaksa, dan 3-20 pengacara yang harus ia hadapi. "Semuanya mencecar saya dengan pertanyaan bertubi-tubi, terkadang di luar dugaan. Mereka bergantian bertanya, sementara saya harus terus-menerus menjawab secara maraton. Pernah, kesaksian saya berlangsung sampai 3,5 jam. Tenggorokan sampai kering," kenangnya.

Yenti mengaku selalu bicara apa adanya. "Saya harus tetap berada di area clean and clear, tak bisa dipengaruhi orang lain untuk menyatakan yang tak benar atau membela pihak tertentu. Itu prinsip saya. Meski beberapa kali ada yang coba menyuap, saya tak mau. Bagaimanapun, saya harus tetap jaga nama baik ayah saya," tegasnya.

Kendati sejauh ini tak ada teror, untuk berjaga-jaga, sepulang dari persidangan ia selalu minta dikawal. Yang juga jadi bebannya, "Jika saya salah menyampaikan atau ditolak hakim dan saya tak bisa mempertahankannya, nama baik, gelar, serta institusi pendidikan tempat saya mengajar dipertaruhkan."

Itu sebabnya, ia selalu menasihati diri untuk bicara hati-hati, serius, dan bermutu. Prinsipnya, ketika bicara orang yang nonton atau lawan bicaranya harus mendapatkan sesuatu yang berguna darinya. Namun Yenti menambahkan, ia bukanlah perempuan keras seperti yang diduga banyak orang. "Saya tetap ibu rumah tangga yang sepulang sidang atau kerja, tetap harus mengurus rumah, memastikan agar rumah tetap rapi," tutur Yenti.

Ia juga mengaku tetap menyukai kesenian seperti yang diajarkan ayahnya, Kol. (P) Soepantho. Saat ia remaja, ayahnya yang saat itu jadi Bupati Purworejo, ingin ia jadi penyanyi dan penari tradisional. Yenti remaja juga ikut kursus melukis. "Saya tetap Yenti yang berada in between kesenian, ibu rumah tangga, dan pekerjaan. Satu lagi, saya selalu melangkah dengan pendekatan berdasarkan agama," ujar Yenti yang sebelum kuliah hukum pernah menjadi manajer sebuah TK milik Yayasan Siliwangi, Bandung.

Kendati jadi anak bupati dan guru, Yenti tak manja. "Justru saya harus memberi contoh agar jangan terlena, tetap harus prihatin, dan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu," ujar Yenti. Ia sangat kehilangan saat ibunya, Nany Suryani, meninggal 3 tahun silam, disusul ayahnya 100 hari kemudian. Padahal, sebelumnya ia selalu menelepon mereka, minta doa restu tiap akan muncul di teve. "Kini tak ada lagi yang dipamiti, tapi tak apa-apa. Masih ada Tuhan."

 Hasuna Daylailatu