Ketika itu kondisi Annisa tampak stabil. Azwar pun merasa tenang menunggui buah hatinya. Malam itu, sambil duduk di samping ranjang Annisa, Azwar memeluk putri cantiknya dengan penuh cinta.
Oleh karena kelelahan, Azwar sempat terlelap sambil memeluk putrinya. Subuh, saat terbangun, Azwar melihat Annisa begitu tenang, tanpa gerakan. Azwar lalu menggoyang-goyang tubuh Annisa, mencoba membangunkannya. Namun tubuh yang masih hangat itu tak bangun lagi.
"Saya panggil perawat dan dokter. Ternyata Annisa sudah tiada saat saya memeluknya. Dokter memperkirakan Annisa meninggal Minggu (10/2) jam 03.00. "Annisa tampak seperti tidur. Dia begitu tenang dan cantik," ujar Azwar dengan wajah berduka.
Azwar tak kuasa menahan haru tatkala melihat betapa warga di kampungnya begitu memerhatikan Annisa. "Banyak teman Annisa datang dari luar kota, seperti Payakumbuh, Padang Panjang. Temannya sejak TK sampai SMA juga ikut mengantar kepergiannya. Mantan guru-gurunya pun hadir. Saya merasa luar biasa bahagia. Bukan memuji Annisa, tapi dia memang baik dan suka bergaul, jadi punya banyak teman."
Ngotot Masuk UI
Di mata Azwar, Annisa adalah anak yang teguh hati. Keinginannya untuk maju begitu kuat. "Dia memang bercita-cita sekolah tinggi. Sudah lama dia ingin masuk UI padahal saya keberatan. Bukan hanya soal biaya, tapi saya tak sanggup berpisah jauh dari Annisa. Ketika dia pergi ke Padang untuk ikut bimbingan belajar saja, saya pusing," kenang Azwar.
Sempat Azwar menyarankan agar Annisa meneruskan pendidikan di Padang saja. Tapi Annisa tetap bertekad kuliah di UI. Ia belajar keras agar lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri. Sebenarnya Annisa juga berhasil lolos masuk Universitas Andalas, Padang. "Dia tetap pilih UI."
Azwar sampai dinasihati kerabatnya agar mendukung langkah Annisa. "Namanya anak menuntut ilmu, ya, harus didukung. Belajar sangat penting demi masa depan Annisa. Jangan sampai Annisa seperti ayah-ibunya yang tak berpendidikan tinggi."
Akhirnya, Azwar pun merestui kepergian Annisa. Ia bisa berlega hati, toh, banyak kerabatnya tinggal di Jakarta. "Saya jadi kuat dan tenang. Apalagi paman-pamannya ikut mendukung. Mereka ingin Annisa berhasil. Menurut adat Minang, paman lebih berhak ketimbang ayah. Makanya, ketika ninik-mamaknya mendukung, saya mengalah."
Sekitar dua tahun lalu, Azwar mengantarkan sang putri ke Jakarta. "Dia indekos di Depok, dekat kampusnya. Kalau mau kuliah, cukup jalan kaki. Saya jadi tenang."
Azwar pun bekerja keras demi masa depan Annisa. Ia mengaku tak pernah terlambat kirim uang untuk biaya indekos, kebutuhan sehari-hari, dan uang kuliah. "Beberapa waktu lalu saya transfer Rp 3,1 juta untuk biaya semester dan kos Annisa," kisah Azwar yang pernah terkena musibah kiosnya ikut terbakar saat pasar kebakaran besar.
Jarak jauh tak menghalangi Azwar berkomunikasi dengan Annisa. Setidaknya, seminggu tiga kali ia bertelepon. Azwar tak lupa bertanya soal kabar, kuliah, dan aktivitas Annisa. "Dia ikut organisasi di kampus, pernah pentas tari Minang bersama teman-temannya. Malah, pernah menari di hadapan Wapres Boediono di Monas," kata Azwar bangga.
Hanya saja, sekitar 10 hari sebelum kejadian, ada saja halangan Azwar untuk berkomunikasi dengan Annisa. "Misalnya, saat saya mau telepon, eh HP ketinggalan di rumah. Suatu kali, pulsanya habis. Atau pas bisa kontak, HP Annisa enggak aktif karena dia sedang kuliah."
Akan tetapi, Annisa tak pernah bercerita soal semrawutnnya jalanan dan kondisi angkot di Jakarta. "Dia anak lugu. Kegiatannya sehari-hari hanya kuliah. Paling-paling ke rumah saudaranya. Dia enggak suka keluyuran."
Menanggapi soal proses hukum yang tengah dijalani sopir angkot, dengan nada bijak Azwar berujar, "Saya tak menyalahkan siapa pun. Semua saya serahkan ke petugas. Jika memang betul sopir itu bersalah, biarlah dia mendapat hukuman setimpal."
Henry Ismono