Kisah Sukses: Sapta Dwikardana Jadikan Anak "Kelinci Percobaan" (2)

By nova.id, Minggu, 27 Januari 2013 | 04:09 WIB
Kisah Sukses Sapta Dwikardana Jadikan Anak Kelinci Percobaan 2 (nova.id)

Kisah Sukses Sapta Dwikardana Jadikan Anak Kelinci Percobaan 2 (nova.id)
Kisah Sukses Sapta Dwikardana Jadikan Anak Kelinci Percobaan 2 (nova.id)

"Saya suka berbagi ilmu karena bagi saya, memberi adalah investasi. (Foto: Dok Pri) "

Psikolog Instan

Keberhasilan kami mengarahkan dua anak menjadi remaja-remaja sukses, membuat saya tertantang mengembangkan program untuk anak-anak SMA yang ingin masuk universitas. Program ini sebenarnya berasal dari pengalaman semasa saya mengajar di Unpar. Saya sempat bertanya ke mahasiswa saya, jika diberi kesempatan apakah akan memilih jurusan yang sekarang mereka pilih? Ternyata banyak yang menjawab tidak.

Jawaban itu membuat saya prihatin. Ternyata banyak mahasiswa yang salah pilih jurusan. Itu sebabnya hasil akhirnya tak maksimal karena memang tak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Saya lalu membuat program cara mengenalkan jurusan ke anak-anak dan merancang program agar anak fokus sesuai bidangnya. Modul pelatihannya pun lengkap.

Modul ini diikuti oleh anak-anak SMA. Tiap bulan mereka saya kulihai di ruang tengah. Biasanya saya mengumpulkan sampai 15 anak. Saya juga mensyaratkan orangtuanya ikut. Bahkan adiknya juga boleh ikut jika mau. Jadi untuk program ini, bayar satu dapat banyak. Ha ha ha...

Kenapa saya harus melibatkan orangtua? Sebab keberhasilan anak harus didukung oleh pengawasan orangtua. Sementara jika orangtuanya yang ikut, anak akan merasa dibicarakan di belakang. Di akhir kuliah saya berikan tes dan hasilnya yang berupa angka-angka statistik itu mereka baca sendiri. PAda akhirnya ia bisa mengetahui ke mana bakat dan minatnya, sesuai dengan kepribadian. Bahkan dengan modal kuliah 1,5 jam itu ia bisa menganalisa kepribadian orangtuanya. Hebat kan? Mereka sudah jadi psikolog instan.

Program ini sudah kami lakukan selama bertahun-tahun. Tanpa ada promosi dan plang nama di rumah pun, peminatnya selalu membludak. Promosinya juga hanya dari mulut ke mulut. Bahkan banyak anak-anak tokoh intelek yang ikut program ini. Sepertinya model-model begini yang memang sedang dibutuhkan masyarakat, ya.

Sukses 1.000 Jam

Saat memeriksa hasil ujian mahasiswa, saya juga sering gelisah. Tiap ujian saya, kan, selalu memberikan esaai dengan jawaban yang ditulis tangan. Lembar-lembar jawaban itu, kan, bagi saya sudah bisa menjadi modal mengetahui masalah yang dihadapi para mahasiswa. Stres saya melihat masalah yang mereka hadapi. Kebanyakan, sih, mereka tidak fokus.

Sebenarnya saya bisa cuek. Toh itu bukan ursan saya. Tapi saya tak tega. Makanya saya ajak dosen bikin modul bagi mahasiswa. Judul modulnya Quantum Solution. Selama tiga hari mereka dimasukkan ke dalam sebuah camp. Tapi program ini tak boleh lebih dari 50 orang pesertanya.

Mereka kami ajarkan membaca cepat, belajar cepat sambil "dibereskan". Mereka juga harus bisa membuat catatan yang benar. Hasilnya luar biasa, setelah 3 hari mengikuti program ini, contohnya seorang mahasiswa yang nyaris drop out (DO), setelah keluar dari program ini langsung ngebut menyelesaikan skripsinya dan lulus.

Setelah tahu program itu sukses, semua fakultas minta dibuatkan modulnya. Wah, jadi pusing saya. Ha ha ha.. Akhirnya saya mengajak teman-teman dosen jadi terapis. Untung banyak yang mau. Jadi saya cukup mengajari para dosen, sehingga nantinya mereka sendiri lah yang akan melakukan terapi ke mahasiswanya.

Saya memang lebih suka membagi ilmu kepada yang mau agar ilmu ini lebih bisa dinikmati banyak orang. Akhirnya saya menemukan jawaban dari pertanyaan saya di awal tulisan ini. Sebenarnya apa , sih, profesi saya? Seorang dosen, peneliti, konsultan, hipnoterapis, grafolog, atau akupunkturist? Bukan semua. Saya seorang guru!

Ketika saya menjadi konsultan pun, saya juga seorang guru. Saya mengajar para bupati, anggota LSM, dosen, serta mahasiswa yang mengajukan proposal. Begitu juga saat menjadi peneliti, saya mengajari mereka yang membiayai penelitian saya. Begitu pun saat saya jadi hipnoterapis dan grafolog. Saya lebih banyak membagi ilmu dari pada jadi terapis.

Dalam ilmu psikologi ada hukum, sukses tidak suses itu ditentukan oleh 1.000 jam. Itu hukum. Tak ada orang sukses secara instan. Untuk menjadi sukses orang harus melewati 1.000 jam. Misalnya The Beatles, tak ujug-ujug sukses. Mereka harus bolak-balik London dan Humberg, Jerman untuk main di kafe dan tak ada hubungannya dengan lagu-lagu Beatles. Bill Gates, harus nyolong-nyolong main komputer di gudang universitas.

Setelah saya merenung, passion saya memang sebagai guru. Kekuatan saya memang mengajar. Mungkin kekuatan itu diturunkan dari Ayah yang dosen ITB. Akhirnya memang saya sadar, mengajar itu dunia yang mengasyikan. Orang berlomba-lomba mencari, sementara saya memberikan. Katanya investasi surga itu dengan memberi. Alhamdulillah saya diberi lahannya. Meski terus memberi, saya tetap tak miskin. Saya tidak salah profesi.

 Sukrisna