Angka kematian akibat badai Sandy terus bertambah. Kantor berita Internasional seperti AP dan Reuters meyebutkan, sedikitnya 90 orang meninggal di Amerika Serikat (AS), 38 di antaranya dari New York City. Masih banyak korban dinyatakan hilang. Hingga Jumat (2/11), sekitar 4,5 juta orang di 12 negara bagian AS masih harus bertahan tanpa listrik.
Kerusakan akibat badai diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS hingga 20 miliar dolar AS, atau paling tinggi di antara bencana alam yang pernah terjadi dalam sejarah AS. "Badai Sandy adalah badai dahsyat yang mungkin merupakan badai terburuk yang pernah kami alami," ujar Walikota New York Michael Bloomberg.
Transportasi sekitar kota New York juga belum dapat berjalan normal karena 10 terowongan bawah tanah antara Manhattan dan Brooklyn tergenang air ketika gelombang air laut merendam sinyal-sinyal dan rel-rel kereta api. Beberapa jalur kereta api memang sudah kembali berfungsi, butuh waktu lama untuk membuat seluruh terowongan kering dan dapat berjalan normal seperti biasa.
Pemulihan pasca badai Sandy tetap merupakan usaha yang sulit dan panjang di kawasan Timur Laut Amerika. Sekitar 5,5 juta warga masih hidup tanpa listrik, terutama di negara bagian New York dan New Jersey.
Dua Kali Hadapi Badai
Badai yang menyerang beberapa negara bagian di Amerika Serikat ini juga dialami oleh beberapa Warga Negara Indonesia yang sedang berada disana. Mereka adalah Tiffany Robyn dan Avanti Vai Anggia.
Kedua gadis yang tinggal di New York ini mengaku tak terlalu banyak "dirugikan" badai Sandy yang menyerang tempat tinggal mereka sepanjang malam Senin (29/10) lalu. Namun tetap saja badai itu membuat mereka khawatir. Menurut Robyn, mahasiswi Sarah Lawrence College, yang terletak 30 menit dari jantung kota New York City, dirinya mendengar kabar badai akan menyerang pada Kamis (25/10), Bersama teman-teman asramanya, anak tunggal asal Jakarta ini melakukan beberapa persiapan seperti menyimpan air minum, makanan, senter, dan baterai.
"Meski anak semata wayang, sebagai putri dari ibu yang mantan Pramuka dan cucu seorang apoteker di Angkatan Laut. Saya telah dilatih untuk punya ransel darurat dan mentalitas survivalist. Minggu (28/10) malam, saya sempat ke New York City, nonton musik bersama beberapa teman. Lalu kembali ke asrama dan mulai mengunci diri di kamar asrama," beber Sandy melalui emailnya.
"Selain itu, di Indonesia saya telah dievakuasi dua kali dari rumah akibat kerusuhan 1998 dan banjir di tahun 2006. Saya punya pengalaman menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan banjir. Pengalaman itu dikombinasikan dengan hal-hal yang orangtua ajarkan juga buku-buku yang saya baca. Terbukti membantu dalam menentukan mentalitas saya, baik saat melalui badai Irene maupun badai Sandy."
Senin (29/10) sore, "Asrama kami kehilangan listrik dan jaringan WiFi. Saya dan teman sekamar tak bisa pergi ke luar kamar, kami terjebak di kamar kami. Kami akhirnya menghabiskan sore dan malam di tempat tidur. Sepanjang Senin, badai Sandy terus menerjang. Anginnya kencang sekali, saya hanya bisa mengawasi dari dalam kamar. Ranting pohon dekat kamar terus menerus mengetuk jendela, persis seperti saat badai Irene terjadi tahun lalu."
Selama tinggal di New York, Robyn telah menghadapi dua kali badai. Pengalaman pertamanya, ketika Agustus 2011 lalu badai Irene menerjang saat ia menjalani masa orientasi perguruan tinggi. "Sebagai mahasiswa baru, saya belum tahu apa yang harus dilakukan saat badai. Angin kencang, hujan deras, dan petir menyambar-nyambar sempat membuat saya khawatir," kenangnya.