Pengalaman itu membantunya untuk tidak panik dan berhasil melewati badai Sandy. "Setelah badai Sandy berakhir, Selasa (30/10) pagi saya bangun dan siangnya menyelinap ke dapur asrama. Rupanya pejabat kampus telah mengirim makanan. Meski lapar dan haus saya tak bisa makan."
Listrik dan wifi yang belum aktif membatasi dirinya untuk bisa berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk berbagi kabar kepada keluarga. "Mereka hanya bisa mencari informasi dari artikel online BBC dan CNN. Sayangnya, itu menyebabkan kepanikan dan ketegangan," tulisnya.
Cuaca usai badai Sandy membuat suhu di asramanya menjadi dingin. Tak seperti badai Irene yang membuat suhu jadi panas, lembab dan lengket. "Tapi sejak Rabu (31/10) malam, asrama saya sudah kembali memiliki air panas, listrik, dan WiFi."
Sejak hari itu Robyn bisa berkomunikasi dengan orangtuanya yang selama 3 hari mencemaskan keselamatan dirinya. "Orangtua sempat panik karena tak bisa mendapatkan kejelasan berita. Tapi setelah saya jelaskan, mereka bisa sedikit tenang."
Bila dibandingkan badai Irene di tahun 2011, badai Sandy lebih ganas karena menyebabkan kerusakan lebih banyak. "Berhasil menghadapi kedua badai membentuk mentalitas dan membuat saya lebih mandiri. Saya mampu bersikap lebih tenang dan bisa menyadari apa saja yang dibutuhkan ketika menghadapi bencana alam," tutupnya.
Edwin Yusman F / bersambung