Misteri Di Balik Tewasnya H M Soehoed

By nova.id, Kamis, 18 Oktober 2012 | 10:28 WIB
Misteri Di Balik Tewasnya H M Soehoed (nova.id)

Misteri Di Balik Tewasnya H M Soehoed (nova.id)

"Sri (Foto: Debbi) "

Sudah hampir setahun lamanya  H M Soehoed meninggal dunia. Tapi, sampai saat ini kepergian ayah tujuh anak itu masih menyimpan misteri. Pada NOVA, anak bungsunya Sri Puji Astuti (43) berbagi cerita.

Sabtu (31/3) lalu,Tim dokter dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta bersama  tim ahli Forensik Mabes Polri dipimpin dr Abdul Mun'im Idries, SpF didampingi tim dari Polresta Medan dipimpin Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol M Yoris, melakukan otopsi ulang terhadap alm. H M Soehoed, Direktur PT Fajar Deli Utama.  Otopsi berlangsung 120 menit diiringi isak tangis para keluarga.

"Subhanallah, ternyata Tuhan menunjukkan kebenaran pada kami anak-anaknya. Buktinya hampir setahun almarhum meninggal tapi jasadnya masih utuh. Tuhan menunjukkan kejanggalan itu pada kami, saat otopsi ulang terdapat lima tulang iga almarhum patah dan lehernya ada gumpalan darah. Ini memang tak  wajar. Ini semua rekayasa dari istri almarhum yang kedua, Kartini. Beliau bilang almarhum meninggal karena terjatuh tapi kami banyak melihat kejanggalan kalau itu tak wajar. Apalagi dr Mun'im mengakui itu penganiayaan grate 3," ujar Sri Puji Astuti, yang akrab disapa Sri, berapi-api.

Menurut Sri, pada Rabu (27/4) tahun lalu almarhum masuk rumah sakit. Tapi, "Kartini mengabari kami anak-anak kandungnya sehari kemudian. Almarhum masuk RS Bunda Thamrin dan ditangani dr Henry. Begitu tahu kabar almarhum masuk rumah sakit, kami langsung kesana. Saat menjenguk, saya sempat  beri makan bapak dan saya lihat mata bapak biru lebam," ujar Wakil Pimpinan salah satu Bank di Medan itu.

Setelah dirawat, kata Sri, kondisi almarhum dari hari ke hari berangsur membaik. Dan, beberapa hari kemudian, Sabtu (30/4) almarhum pulang ke rumahnya Komplek Bumi Asri. Namun, baru beberapa hari di rumah, kondisinya drop lagi. "Informasi itu saya dapat dari supir bapak saya, Senin (2/5). Tanpa pikir panjang, saya segera telepon anak Kartini, Syaiful. Namun, jawaban yang saya terima, bapak tak perlu dirawat lagi di rumah sakit. Cukup di rumah saja mereka yang merawat," cetus Sri.

Khawatir dengan kondisi bapaknya, Sri segera datang ke rumah almarhum. "Saya lihat waktu itu bapak tak pakai alat bantu pernafasan lagi. Padahal itu perlu. Saya juga lihat leher bapak berwarna biru lebam. Saya duduk di depan bapak, saya bilang 'pak kenapa leher bapak biru'. Di ruangan itu ada juga Kartini. Tapi, saat saya ngomong begitu, ibu itu pergi ke dapur."

Begitulah seterusnya hingga tiga hari almarhum tak bisa makan di rumah. " Saya tambah gusar, saya telepon Syaiful. Saya bilang, kalau alm. tak bisa makan tolong bawa ke rumah sakit lagi. Tapi, lagi-lagi mereka menolak dibawa ke rumah sakit. Alasannya, mereka takut tangan alm. di infus lagi. Kali ini saya mulai curiga."

Lapor Polisi

Apalagi, kata Sri, Syaiful bilang walaupun mereka bukan anak kandung  alm. tapi kasih sayang mereka terhadap bapak tak berkurang. "Saya jadi mikir, kalau almarhum tetap tidak dibawa ke rumah sakit mereka seperti membiarkan alm. mati pelan-pelan."

Akhirnya, karena sudah tak kuat almarhum dibawa lagi ke rumah sakit oleh Kartini dan anak-anaknya. "Mereka lalu menelepon saya.Tapi, begitu saya tiba di rumah sakit alm. bukan langsung dibawa ke ruang ICU tapi malah nunggu saya datang. Sehingga saya lihat abapak  sudah lemas sehingga harus segera dibawa masuk ke kamar. Yang buat saya prihatin kali ini, saat saya meminumkan bapak  dengan sendok, sendok itu terjatuh. Akhirnya perawat memasang sonde untuk alat bantu makan."

Rabu (11/5) saat Sri datang jenguk sang bapak, dia mulai curiga. " Saat saya raba leher bapak, saya merasa ada kecurigaan. Secara tak sengaja, saya sempat lihat Kartini memegang tangan kiri bapak  yang diinfus serta langsung menekannya sekuat tenaga namun bapak berteriak agar dilepaskan Setelah itu Kartini melepaskannya dan  terlihat bekas jari-jari tangan Kartini di tangan alm. yang diinfus. Tanpa pikir panjang, saya segera berembug dengan keluarga saya.Akhirnya, dengan terpaksa,  Senin  (15/5) kami melapor kasus ini ke Polresta. Lalu, bapak divisum oleh dr Jimms, dr Monang dan dr Isnu," ujar Sri yang ditunjuk keluarga sebagai  juru bicara keluarga.  

Tapi sayangnya, kata Sri, hasil visum bapaknya itu tak jelas. Hingga akhirnya H M Soehoed meninggal, Senin (23/5). Saking kesalnya pihak keluarga, alm. disemayamkan di rumah Sri. Hasil visum dari RS Pirngadi dikirim ke Bunda Thamrin. RS Bunda Thamrinlah yang memberikan hasil visum pada Sri.

Lagi-lagi, lanjut Sri, hasil visum itu banyak terdapat kejanggalan. Karena terus penasaran Sri mencek laporannya ke Polresta.  "Saat ke Polresta, Sri diberikan secarik kertas, disitu tertulis berdasarkan surat Polresta tanggal 24-29 Agustus, disebutkan tak ada saksi yang mengetahui peristiwa itu sehingga kasusnya SP3," ujar ibu tiga anak ini.

Karena kecewa, akhirnya Sri melaporkkan kembali kasus ini ke Polda. Selasa (29/9) tahun lalu, sempat diadakan gelar perkara. Saat gelar perkara berlangsung alm. diperagakan terjatuh dari mobil." Jika benar korban jatuh dari mobil yang tingginya sekitar 30 cm, maka memar tersebut mungkin ada goresan dan memungkinkan terkenah tulang pada pipi namun memar tersebut hanya pada seputaran mata sebelah kanan alm. Jadi, kami menduga alm. telah dianiaya karena memar pada mata korban disebelah kanan adalah rata tak ada tergores," tutur  Sri geram.

Pertemuan almarhum dengan Kartini melalui proses yang cepat. " Saat bapak berusia 70 tahun, ibu kami Hj Tumidjah meninggal. Lalu, bapak . menikah lagi setahun kemudian. Dulunya Kartini adalah penjual kue. Usianya sekarang 70 tahun. Kartini memiliki dua orang anak. Dan, saat bersama bapak, mereka tak punya anak. 

Almarhum menduduki jabatan Direktur di PT  Fajar Deli Utama bergerak di bidang ekspor impor. Walau pernah jaya, tapi setelah usia perusahaan itu 20 tahun, sekarang sudah sekarat. "Untuk menyelamatkan perusahaan itu kami akan menyetorkan gaji kami anak-anaknya untuk perusahaan," ujar Sri yang sering memberi uang pada sang ayah tapi hanya sehari  dompetnya sudah kosong.

Pernah, kata Sri, dia melihat uang perusahaan sudah hampir ludes sementara uang di tabungan Kartini mencapai Rp 10 Milyar. "Kalau ditanya uang mereka bilang itu adalah uang hasil mereka jualan kue dulunya. Tapi, kami yakin, gara-gara harta itulah mereka anak beranak tega menganiaya bapak.""

Menurut Sri, ibu tiri dan anak-anaknya sering mengambil uang almarhum. "Padahal mereka juga sudah disekolahkan. Bahkan, istilahnya sudah ditinggikan derajat mereka karena  bisa sekolah.  Tapi, kok sanggup berbuat keji.."

 Sri yakin kasus ini akan panjang. "Perlu tenaga dan waktu untuk tuntas. Saat sekarang ini memang susah cari keadilan. Ini memang masalah keluarga dan  harta. Tapi, yang tidak bisa kami terima, jangan karena harta, bapak sampai dianiaya. Sebagai ahli wais kami tak ikhlas. Kami minta pada Allah pelaku dibalas dunia dan akhirat," ujar Sri mengaku kehidupan dia dan enam orang saudaranya sudah cukup mapan," jadi, kami bukan 'tamak' harta tapi keadilan alm. itu saja."

Saat kasus ini dikonfirmasi ke Polresta Medan, salah seorang sumber di kepolisian mengaku kalau kasus ini sudah dialihkan ke Poldasu. " Enggak tahu lagi bagaimana perkembangan kasus itu, " ujar sumber itu lagi.

Debbi Safinaz