Perjuangan Deden Sembuhkan Sang Putri (1)

By nova.id, Kamis, 29 November 2012 | 00:45 WIB
Perjuangan Deden Sembuhkan Sang Putri 1 (nova.id)

Karena ada keperluan, saya lantas meninggalkan orang itu sebentar di ruang rawat Siti. Saat saya tinggal itulah, ia menemui istri saya dan meminta KTP saya untuk difotokopi. Setelah itu, dia meminta uang kepada istri saya dengan alasan uang itu akan dimasukkan ke bank atas permintaan saya. Akhirnya istri saya memberinya uang sumbangan yang diberikan kepada kami.

Tapi, ya, sudah lah, saya ikhlas. Saya tak merasa ditipu atau kehilangan. Ini justru jadi pelajaran buat saya. Meskipun kami serba kekurangan dan mengalami banyak rintangan dalam kehidupan, belum pernah kami berbuat jahat kepada orang lain sampai seperti itu. Saya anggap, uang itu mungkin bukan rezeki kami sehingga itu tak lagi jadi masalah buat kami.

Perjuangan Deden Sembuhkan Sang Putri 1 (nova.id)

"Semua bukti transaksi terkait pengobatan dan perawatan Siti disimpan rapi oleh Olin. Hingga Rabu (14/11), tercatat sudah Rp 80juta biaya yang dikeluarkan Olin untuk Siti. (Foto: Renty Hutahaean/NOVA) "

Ditelantarkan Rumah Sakit

Oh ya, saat operasi pertama, Siti sudah dibilang kurang gizi. Saya lalu membuat SKTM (Surat Keterangan Tanda Miskin) ketika Siti harus menjalani kemoterapi di sebuah rumah sakit di Bandung, Jawa Barat. Mulai dari kepala desa, lurah, sampai bupati, semua mendukung 100 persen anak saya untuk dikemoterapi. Semua persyaratan untuk membuat SKTM pun dibantu dan tak banyak menemui rintangan. Bahkan saya juga tak dipungut biaya sepeser pun.

Kendati begitu, ada hal yang tak saya suka, yaitu sikap pihak rumah sakit di wilayah Jawa Barat yang dirujuk untuk mengobati Siti. Saya pernah membawa Siti berobat ke rumah sakit di Cibitung pada suatu malam. Oleh petugas, anak saya malah diletakan begitu saja di atas meja. Mereka tidak mau mengobati anak saya karena alasannya saat itu saya tak membawa SKTM. Saya malah disuruh pulang, padahal uang saya hanya cukup untuk ongkos datang ke rumah sakit itu. Saya terpaksa menelepon Pak Lurah karena saya tak punya duit untuk pulang. Buat mereka mungkin ongkos yang saya keluarkan nilainya kecil, tapi buat saya uang itu nilainya besar.

Mereka memang tak menolak kami secara kasar. Andai saja dulu mereka mau menerima anak saya meskipun saya tak bawa SKTM, mungkin tidak ada kejadian seperti ini. Mulai hari ini, siapapun yang membantu saya apalagi (rumah sakit) dari Jawa Barat, saya tidak mau. Lebih baik anak saya tidak diobati saja daripada diobati ke Jawa Barat. Saya sangat sakit hati atas perlakuan pihak rumah sakit itu sampai sekarang.

Setelah Siti dirawat di RS St. Carolus, secara fisik ia terlihat membaik. Meskipun ia masih susah bicara karena napasnya semakin pendek. Ia lalu dipasangi selang oksigen untuk membantu pernapasannya. Tapi saya yakin rumah sakit ini sudah berusaha sebaik mungkin melakukan apa yang harus dilakukan karena penyakit Siti sudah sulit diobati. Ya, Siti terlambat diobati tiga bulan karena saya harus membuat SKTM lagi.

Sejak Siti diobati di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) hingga dirujuk ke RS St. Carolus, saya dibantu dr. Olin. Semuanya saya pasrahkan kepada dia karena dari segi biaya saja saya sudah tak ada.

Selain dokter Olin, saya juga dibantu seorang relawan yang saya panggil Pak Taslim. Mereka benar-benar bekerja keras untuk kami. Sesibuk apapun, mereka tetap mau memperhatikan kami. Bahkan dr. Olin sampai rela meninggalkan pekerjaan dan anaknya untuk mengurus Siti. Saya tentu mengucapkan banyak terimakasih untuk semua orang yang sudah membantu saya dan Siti.

Saya jadi ingat kata-kata Siti semasa ia masih di rumah. Siti pernah bilang ke saya, "Siti nanti akan mengangkat Mamah sama Bapak. Siti pengin seperti Ayu Ting Ting, orang biasa saja bisa jadi artis. Nanti Bapak akan Siti belikan tanah." Kalimat itu sering ia ucapkan bahkan hingga kondisinya makin parah. "Siti mau sembuh dan pengin membahagiakan Mamah sama Bapak." Duh, saya dan ibunya tentu juga ingin melihat Siti sembuh. Saat ini saya tak minta macam-macam. Yang penting Siti bisa sembuh dan bisa sekolah. Itu pun bila Allah mengizinkan. Bila tidak, kami pasrah.

 Renty Hutahaean / bersambung