Sulastri, "Perempuan Desa" yang Membangun Joho (1)

By nova.id, Rabu, 4 Juli 2012 | 00:09 WIB
Sulastri Perempuan Desa yang Membangun Joho 1 (nova.id)

Sulastri Perempuan Desa yang Membangun Joho 1 (nova.id)
Sulastri Perempuan Desa yang Membangun Joho 1 (nova.id)

"Sulastri menerima piala dibidang Lingkungan Hidup atas kesuksesannya menghijaukan Desa Joho. (Foto: Amir Tejo) "

Arisan Kambing

Lulus SMA, saya memutuskan bekerja. Saya kembali ke Pangkalanbun, tempat di mana banyak industri pengolahan kayu yang butuh tenaga kerja. Saya lalu bekerja sebagai staf di bagian administrasi salah satu industri pengolahan kayu. Di sana, saya berkenalan dengan Mulyono, pria asal Malang yang saat itu bekerja sebagai sekuriti di sebuah bank.

Kami menikah pada 1999. Setelah menikah, kami pulang ke Joho. Selain rindu pada tanah kelahiran, saya juga harus merawat Ibu yang semakin sepuh. Kehidupan kami di Pangkalanbun kami tinggalkan. Di Joho, suami berwiraswasta bahan bangunan. Usaha ini masih ditekuni suami hingga kini.

Sebenarnya, setelah menikah saya hanya bercita-cita menjadi ibu rumah tangga biasa. Apalagi, di Joho memang tak banyak aktivitas yang bisa saya kerjakan. Para perempuan di Desa Joho pada umumnya hanya sibuk di dapur, merawat anak, dan menunggu suami pulang kerja.

Keadaan ini sedikit berubah ketika Joho kedatangan sekelompok mahasiswa dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sekitar tahun 2003. Para mahasiswa inilah yang menyadarkan saya, perempuan juga bisa melakukan kegiatan bermanfaat daripada sekadar duduk termangu menunggu suami pulang.

Saya lalu membuat Tempat Pendidikan Al Quran (TPA) untuk anak-anak. Awalnya, yang mengajar di TPA ini para mahasiswa yang sedang KKN. Ketika masa KKN mereka berakhir, saya mengajak ibu-ibu Desa Joho untuk menjalankannya. Di satu sisi, saya senang karena bisa memberdayakan para perempuan Joho. Tapi di sisi lain, saya bingung ketika harus memberikan imbalan kepada para pengajar. Menarik iuran dari orangtua siswa saat itu bukanlah pilihan karena saya berprinsip tak mau memberatkan mereka.

Beruntung, Rektor STAIN Kediri memberikan bantuan tiga ekor kambing. Oleh saya, tiga hibah kambing itu saya buat arisan. Para pengajar di TPA mendapatkan prioritas untuk diberi kambing. Setelah kambing-kambing itu beranak, lalu diberikan kepada pengajar lainnya. Ternyata arisan kambing ini berjalan lancar. Saat ini, arisan kambing bukan hanya menjadi hak para pengajar TPA, tapi sudah berkembang hingga ke warga desa lain.

Pengalaman mengorganisasikan TPA dan arisan ini membuat saya semakin yakin akan potensi kaun perempuan Joho. Setelah itu, saya semakin mantap memberdayakan perempuan Joho lewat berbagai kegiatan, seperti mengembangkan indutri aneka kripik. Dengan bahan umbi-umbian hasil panen di desa, kami membuat kripik pisang, ketela, sukun, dan talas.

Bangun Koperasi

Sukses dengan industri makanan kecil, saya berinisiatif mendirikan koperasi desa. Pendirian koperasi ini sebenarnya idenya sangat sederhana. Saya ingin membantu warga yang banyak terjerat utang oleh rentenir. Sebelum koperasi berdiri, rentenir menguasai ekonomi warga desa yang hanya bergantung pada penghasilan dari bercocok tanam. Bayangkan, dalam setahun mereka hanya panen dua kali. Jika bukan musim panen, mereka tak ada penghasilan lain. Sementara kehidupan harus terus berjalan.

Tahun 2006, koperasi pun berdiri. Kami sepakat memberinya nama Paguyuban Sido Rukun. Awalnya koperasi ini hanya beranggotakan 20 orang, namun sekarang berkembang jadi ratusan orang. Dari modal awal hanya Rp 50 ribu, kini koperasi kami sudah beromset sekitar Rp 300 juta.

Pendirian koperasi ini, buat saya pribadi, tentu disertai jatuh-bangun. Mulanya, sebagai warga saya coba mengomunikasikan ide pendirian koperasi dengan aparat desa. Kesuksesan mengelola TPA, arisan, dan usaha kripik ternyata tak cukup mempan meyakinkan aparat desa bahwa wanita juga bisa mengelola koperasi. Ketika saya menghadap, komentar mereka hanya satu. "Kalian perempuan lulusan SD saja, kok, mau mendirikan koperasi!" Wah, sakit sekali hati saya dibodoh-bodohi seperti itu.

Bukannya patah arang, saya justru makin semangat untuk membuktikan kepada mereka. Saya lalu menghubungi teman-teman mahasiswa untuk memberikan pelatihan mendirikan dan mengelola koperasi yang baik. Berkat bantuan mereka, koperasi kami meraih juara 1 Lomba Administrasi Pra Koperasi Sekabupaten Kediri di tahun 2010.

Lucunya, saat yang lain presentasi menggunakan laptop, kami yang sistem pembukuannya masih manual maju membawa setumpuk buku-buku administrasi. Siapa sangka, kami yang keluar jadi pemenangnya. Ha ha ha.

Amir Tejo / bersambung