Tangkisan Berujung Hukuman Penjara (1)

By nova.id, Kamis, 7 Juni 2012 | 04:54 WIB
Tangkisan Berujung Hukuman Penjara 1 (nova.id)

Tangkisan Berujung Hukuman Penjara 1 (nova.id)

"Foto: Sukrisna/NOVA "

Gara-gara menangkis pukulan suami yang disebutnya kerap menyiksanya, Danersih (39), harus mendekam di bui. Ibu tujuh anak ini terancam tuntutan penjara 10 tahun. Ia mengaku, tak menduga suaminya terluka apalagi tewas gara-gara tangannya yang memegang pisau menangkis pukulan sang suami.

Selalu saja anak-anak yang menjadi korban ketika orangtua bertikai. Ini juga yang dialami tujuh anak pasangan Muchamad Lukman (43)-Danersih. Gilang (14), Haikal (12), Rendra (8), Faris (7), Ghani (5), Hanum (3), dan Azzam (2) harus terpisah dari orangtuanya. Sang ayah meninggal sementara ibunya harus mendekam di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sejak akhir tahun lalu.

Danersih kini berjuang di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi untuk mencari kebebasan. Rabu (30/5), sambil terisak-isak, ia memohon ke majelis hakim agar bisa bebas dan berkumpul kembali dengan tujuh buah hatinya. "Saya tak bisa membayangkan jika harus menjalani hukuman 10 tahun seperti tuntutan jaksa. Bagaimana nasib anak-anak saya?" keluhnya di antara tangisan.

Usai sidang, jebolan D3 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini bercerita, tujuh anaknya masih sangat tergantung padanya. Bahkan lima anak terakhir, "Makan masih harus disuapi. Mandi pun saya juga yang memandikan. Pokoknya, mereka masih sangat tergantung ke saya. Makanya saya minta ke majelis hakim agar segera dikeluarkan dari penjara."

Lempar Kipas Angin

Akhir Desember silam, Danersih diciduk polisi atas tuduhan membunuh Lukman usai mereka adu mulut. Meski saat itu ia bersikeras tak berniat mencelakai apalagi membunuh suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai guru madrasah di bilangan Cijantung, Jakarta Timur, tapi alasan ini tak digubris polisi.

Selasa (27/12) siang nahas itu, cerita Danersih, ia ingin meminjam handphone suaminya untuk menelpon Ny. Tatang, istri teman Lukman. Bukannya dipinjami, Lukman malah marah-marah. "Dia justru menuduh Danersih menelepon untuk merusak hubungan bisnisnya dengan Pak Tatang," kata Yasin Hasan, pengacara Danersih. Kata Danersih, ia ingin menelepon Ny. Tatang untuk bertanya di mana bisa membeli buku soal monopause. "Saya hanya ingin tahu, apa saja yang harus dipersiapkan wanita saat menjelang menopause. Karena Lukman terus marah-marah, saya bilang, 'Ya, sudah, kalau enggak boleh.' Saya akhirnya melanjutkan masak di dapur."

Kala itu, lanjut Danersih, si sulung Gilang melerai percekcokan orangtuanya dan mengingatkan tak enak bila didengar tetangga. Kemarahan Lukman mereda. "Namun begitu Gilang ke luar rumah, suami saya ngomel-ngomel lagi. Bahkan ketika saya sedang masak di dapur, ia melempar kipas angin dan kaleng obat. Untung tidak kena karena saya sempat menghindar."

Justru karena luput, kata Danersih, suaminya makin jengkel dan menghampirinya. "Saya sedang mengiris bawang dan saya tahu dia mau memukul kepala saya dengan gelas. Karena posisi saya sudah terjepit, refleks saya menangkis dengan tangan yang masih memegang pisau." Cress... pisau pun menancap di dada Lukman. "Saya enggak tahu pisau itu melukai dia soalnya dia tidak mengaduh dan pisau yang saya pegang pun tak ada darahnya. Apalagi setelah itu dia langsung masuk kamar. Saya meneruskan memasak."

Mogok Sekolah

Usai masakan matang, Danersih membangunkan sang suami. "Saya kaget begitu tahu badannya sudah dingin dan napasnya tinggal satu-satu. Darah juga merembes membasahi kasur." Kalut, Danersih meminta Gilang memanggil dr. Teuku Benjamin Jakob, tetangganya. Saat diperiksa, ternyata detak jantung Lukman sudah melemah. Dokter minta Lukman segera dibawa ke RS. Belum lagi mencapai RS Kartika Husada, Jatiasih, Lukman mengembuskan napas terakhirnya.

Dalam perjalanan menuju RS, Gilang sempat mengabari keluarga Lukman yang tinggal di Cakung, Jakarta Timur. Tergopoh-gopoh Maunah (71), ibu Lukman, menuju RS. Sesampainya di sana, ia tak dapat menemui sang anak. Bersama anak dan kerabatnya, Maunah segera menuju rumah Lukman di Jatiasih. Di sana Danersih memberitahu Maunah, Lukman meninggal karena sakit jantung. Tanpa curiga, keluarga memutuskan Lukman dikuburkan di Cakung.

Ketika jenazah dibawa ke Cakung itulah, luka di dada Lukman ketahuan. Salah seorang kerabat mengaku melihat darah merembes dari jasad Lukman. "Kemudian saya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tutur Danersih. Semula keluarga besar Lukman tak mempersoalkan luka tersebut. Bahkan, mereka tak akan memperpanjang masalah. Yang dipikirkan justru nasib tujuh bocah yang menjadi yatim setelah ditinggal Lukman.

Yang kemudian terjadi, dua hari setelah Lukman dimakamkan, keluarga yang tak terima memilih melaporkan Danersih ke polisi. Untuk menguatkan tuduhan terhadap Danersih, polisi membongkar makam Lukman dan melakukan autopsi. Sejak itu pula, Danersih resmi jadi penghuni rutan.

Kini anak-anak Denarsih diasuh kakek-neneknya di Slawi. Sementara Gilang masih menetap di rumah mereka di Bekasi. "Saya tinggal di sini sampai nanti naik kelas tiga. Setelah itu pindah sekolah ke Slawi," jelas siswa SMPN 30 Bekasi ini. "Adik-adik sedih sekali. Haikal sekarang mogok sekolah. Dia tidak mau sekolah kalau Ibu belum pulang. Kemarin sudah dibujuk kepala sekolah tapi malah nangis dan masuk kamar," kisah Gilang.

Awalnya, ketujuh anak itu diungsikan ke Cakung. Namun sejak Danersih dibui, hubungannya dengan sang mertua jadi tak akur. Keadaan ini semakin parah, kata Danersih, ketika keluarga Lukman mengambil alih mobil, dua motor, sertifikat tanah, laptop, dan teve layar datar dari rumah Danersih. "Saya minta anak-anak dipidahkan ke Slawi saja. Saya juga berharap barang-barang milik kami dikembalikan. Itu untuk kelangsungan hidup anak-anak," jelas Danersih. Ricky Pandjaitan, pengacara Danersih yang lain menambahkan, "Total nilai barang yang sekarang dikuasai keluarga Lukman sekitar Rp 500 juta. Itu hak anak yatim. Kami berharap keluarga segera menyerahkan ke klien kami," tandas Ricky.

Sukrisna/ bersambung