Istirahat Abadi Sang Iron Lady (2)

By nova.id, Kamis, 10 Mei 2012 | 00:27 WIB
Istirahat Abadi Sang Iron Lady 2 (nova.id)

Istirahat Abadi Sang Iron Lady 2 (nova.id)
Istirahat Abadi Sang Iron Lady 2 (nova.id)

"Hingga hari Jumat (4/5), kediaman Endang tak pernah sepi dari tamu yang ikut melakukan pengajian (Tahlilan). (Foto: Noverita/NOVA) "

Sukma Menjelang Pulang ke Sang Pencipta

"Menulis Itu Sukma!" buka Endang di halaman pertama Buku Untaian Garnet dalam Hidupku (2012). Sejak diangkat menjadi Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia tahun 2009, Endang yang disergap kesibukan memang tak sempat lagi menulis. Padahal, seperti yang diungkapkannya, menulis adalah sukma baginya.

Alhasil, "waktu luang" di hari-hari terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) diisi dengan menyelesaikan satu karya terakhirnya, yaitu sebuah memoar yang amat personal. Di situ ia bercerita tentang suami, anak-anak, juga pekerjaannya. Endang dibantu sahabatnya, Siti Isfandari, kala mengumpulkan serpihan-serpihan cerita hidupnya ini.

Buku setebal 212 halaman yang disunting Isye Soentoro tersebut kemudian diterbitkan sebelum Endang sempat membaca dummy-nya. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) sengaja mengebut pencetakan sebanyak 100 eksemplar agar dapat dibagikan secara terbatas kepada pelayat yang datang untuk memberi penghormatan terakhir di Gedung Kementerian Kesehatan, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (3/5).

Dari 37 bab dalam buku ini, hampir dua pertiganya didedikasikan Endang untuk keluarganya. Ia bercerita tentang kisah cintanya dengan sang suami, dr. Mamahit SPOG, yang dipanggilnya dengan nama Renny. Endang juga menyisihkan banyak bab untuk membahas ketiga putra-putrinya, Arinanda Wailan Mamahit yang kidal dan menderita buta warna namun tergila-gila pada desain, Awandha Raspati Mamahit yang sangat supel dan punya banyak akal jahil, serta Rayinda Raumanen Mamahit, putri satu-satunya yang kuat dan perkasa.

Di buku ini pula Endang menceritakan perjalanan kariernya yang luar biasa. Mulai dari pekerjaan pertamanya di RS Pertamina Jakarta, ditempatkan di sebuah puskesmas di Sikka (Flores), masa suram saat dicopot sebagai Kepala Puslitbang, kedekatannya dengan Namru 2 (Naval Medical Research Unit) yang kontroversial, hingga telepon dari Sudi Silalahi yang mengubah jalan hidupnya.

Yang menarik, ingatan Endang tentang Sikka sungguh rinci. Pembaca pun seakan ditarik masuk ke setting tahun 80-an di Sikka, di mana Endang dan Renny mengabdi pada masyarakat dalam keadaan serba terbatas.

Ditulis dari ranjangnya di RSCM, di antara rasa sakit yang menderanya, Endang juga menghadirkan cerita perjuangannya melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Meski sendu, penuturan Endang tentang hari-hari terakhirnya terasa tidak cengeng. Seperti yang ia inginkan, buku ini merekam jejak hidupnya sebagai sosok perempuan luar biasa, dengan sempurna.

Intan, Ajeng