Bahwa kerajinan lurik berdampak pada aspek ekonomi secara luas seperti yang dikatakan desainer Ninik Darmawan, ada benarnya. Dyah Yesnita Narendra Dewi (27), lulusan Jurusan Ekonomi UPN tahun 2006 ini merasakan imbas kerajinan lurik. Sebelumnya, perempuan yang kerap disapa Naren ini sudah sekian kali ganti pekerjaan. Mulai dari pekerja kantoran hingga wiraswasta jualan kopi gerobak di depan mini market.
Sayangnya, tak satu pun yang bena-benar membawa hoki. Ditambah lagi, anak semata wayangnya tak ada yang mengasuh di rumah. "Baru setelah coba-coba jualan lurik, hasilnya ternyata bagus. Saya dapat ide jualan lurik setelah baca majalah terbitan Jakarta," tuturnya.
Ibu satu anak ini bukan sekadar menjual lembaran-lembaran kain lurik semata. Sebagian sudah ia wujudkan menjadi busana siap pakai dengan potongan yang simpel. Ada juga beberapa produk house hold seperti bantal, tempat tisu, atau tempat duduk anak, dan meja lap top. Naren bukan saja gigih menjual produknya dari pameran satu ke pameran lain di kawasan Jogja sejak 2010. Ia juga menjualnya lewat Facebook sejak tahun lalu. Hasilnya sejauh ini, kata pemilik merek Kalurix ini, menggembirakan.
Ketika ia berpameran pertama kali Mei 2011 di JEC, Naren menangkap peluang lurik yang belum terlalu banyak diperdagangkan. "Kebanyakan masih batik. Lalu terpikir oleh saya bagaimana bikin busana lurik supaya diminati sekaligus tidak dianggap ndeso. Sebelumnya, busana lurik kan cuma tampil full lurik tanpa kreasi, atau dipakai untuk surjan abdi dalem saja."
Diakui Naren, pertama kali berpameran perolehan hasilnya hanya impas dengan harga sewa stad yang sudah ia keluarkan. Tapi ia nekat terus berdagang lurik. Ia datangi perajin lurik dan memesan corak khusus. "Saya sengaja ke Pedan karena perajin lurik di Jogja sudah tergolong besar dan sulit diajak kerjasama dengan pemula seperti saya. Dengan memesan corak khusus saya bisa berkreasi sesuai keinginan saya," terang perempuan kelahiran Sorong ini.