Pertama kali membuat batik, ia mengangkat ikon-ikon Surabaya untuk motifnya. Misalnya maskot buaya dan ikan hiu, ada pula motif kapal Laksamana Cheng Ho, yang berdasarkan sejarah pernah berlabuh di Kota Surabaya, serta motif-motif lain yang khas Surabaya. Putu juga mengakui, tak mudah mengembangkan batik yang bisa menjadi ciri khas Surabaya.
Ya, Surabaya dianggap tak memiliki tradisi membatik sehingga tak banyak orang kenal batik Surabaya. Ini berbeda dengan kota-kota lain di Jatim yang memang masih punya tradisi membatik seperti Sidoarjo dan Madura. "Di Sidoarjo ada satu kampung yang semua warganya membatik dengan motif yang sama selama bertahun-tahun. Praktis itu terpatri dalam memori banyak orang. Tanpa dipromosikan pun orang-orang akan langsung kenal. Sementara batik Surabaya agak susah karena tak ada desa yang semua warganya membatik dengan motif yang sama di Surabaya," terangnya.
Selain menjadikan motif sebagai ciri khas, Putu juga mencoba bermain warna agar orang bisa langsung kenal begitu melihat batik karyanya. Putu lebih memilih warna-warna terang sebagai ciri khasnya. "Saya memang suka warna-warna gonjreng," katanya. Kendati sudah memiliki nama cukup beken, namun sebagai perajin tentu saja Putu membutuhkan perhatian Pemerintah Kota Surabaya.
Sayangnya, hingga kini Putu menilai Pemkot Kota Surabaya masih kurang memberikan perhatian terhadap keberadaan batik Surabaya. Menurut Putu, Pemkot Surabaya selayaknya memberikan panduan atau pedoman bagaimana seharusnya motif batik Surabaya itu dibuat. "Pemkot Surabaya seharusnya juga memberikan pakem untuk batik Surabaya. Selanjutnya, batik Surabaya juga digunakan sebagai seragam kantor. Bukannya ingin batik saya yang digunakan, tapi agar perajin batik lain di Surabaya juga bisa ikut membuat," terang Putu.
Selain mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah, Putu juga prihatin dengan pemahaman yang kurang terhadap batik. Pernah suatu kali ia diminta membuatkan desain khusus untuk para petinggi sebuah instansi. "Sayang, desain yang saya buatkan itu kemudian direproduksi ulang dengan cara di-print tanpa sepengetahuan saya. Mereka beralasan agar batiknya bisa lebih terjangkau untuk semua karyawannya," ujar Putu kesal.
Tindakan itu tentu saja menyakitkan Putu sebagai perajin batik. Pasalnya, batik print tak bisa dikatakan sebagai karya batik, melainkan tekstil bermotif batik. Putu menjelaskan, harga selembar kain batik tulis menjadi mahal karena selain prosesnya sulit juga sebagai penghargaan atas karya seni. "Menjadi mahal karena idenya dan tenaga juga manusianya," tegas Putu.