Batik mangrove karya Lulut Sri Yuliani sudah populer di Surabaya. Batik dengan motif ekosistem mangrove dan laut sebagai ciri khasnya banyak diburu pencinta batik. Menurut Lulut, motif batik mangrove yang diproduksinya memang benar-benar ingin tampil dengan ciri khas tersendiri, tanpa meniru motif-motif yang sudah ada. "Coba sampeyan lihat, sama sekali beda dengan batik yang sudah ada, kan?" ujar Lulut sembari memperlihatkan batik mangrove miliknya saat ditemui di rumahnya.
Sejak mulai dikembangkan sekitar tahun 2007 hingga kini, batik mangrove sudah memiliki sekitar 300 pakem. Dari sekitar 300-an pakem ini bisa tercipta ribuan motif batik. Dan untuk menciptakan ribuan motif batik, kata Lulut, ia dibantu tim desainer. "Desainnya memang menjadi banyak tapi sangat eksklusif. Karena satu desain hanya dijual ke satu orang saja," ujar Lulut.
Karena desain batiknya eksklusif, setiap pembelian batik mangrove kreasi Lulut akan disertai sertifikat, sebagai penanda atas keaslian batik yang telah dibeli. Sekaligus sebagai bukti bagi konsumen bahwa dengan membeli batik mangrove produksi Lulut berarti ia berperan serta dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove.
"Dari penjualan batik itu labanya ada yang disisihkan, lalu diberikan ke para petani mangrove. Mereka lah yang berkewajiban menanam sekaligus memelihara pohon mangrove yang batiknya telah dibeli konsumen," papar Lulut. Sekadar tahu saja, bisnis batik mangrove yang digeluti Lulut ini memang tidak murni demi kepentingan bisnis. Tapi juga memiliki muatan pelestarian lingkungan.
Sebelum menjadi perajin batik mangrove Lulut sebenarnya lebih banyak dikenal sebagai aktivis lingkungan. Ia banyak terjun ke warga Rungkut untuk memberikan pemahaman akan pentingnya menjaga kelestrian ekosistem mangrove di kawasan Rungkut Surabaya. Terciptanya batik mangrove pun berawal dari kerisauannya melihat maraknya pembalakkan liar terhadap ekosistem mangrove, sekitar tahun 2007.
Lulut melihat, ternyata pemberdayaan yang telah ia lakukan selama ini tak banyak diperhatikan warga. Buktinya masih banyak terjadi pembalakkan liar. Ia lalu mencari cara agar pemberdayaan yang ia lakukan bisa dipahami warga. "Batik jadi salah satu alat untuk mengubah paradigma masyarakat bahwa dari lingkungan pun kita bisa mendapatkan sesuatu untuk meningkatkan nilai ekonomi. Selain itu juga punya nilai konservasi. Tujuan batik mangrove ini utamanya adalah konservasi. Jika ada nilai ekonominya, itu hanya ikutan saja," terang Lulut.
Konsep awalnya, imbuh Lulut, batik mangrove karyanya menggunakan pewarna alami yang diambil dari limbah mangrove. Mulai dari daun, buah, batang, dan bagian lainnya. Bagian-bagian yang sudah terbuang ini di tangan Lulut bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami batik.
"Semua bahan pewarna itu dari bagian-bagian mangrove yang sudah tak lagi produktif. Kalau memanfaatkan bagian mangrove yang masih produktif, tentu akan merusak ekosistem mangrove," terangnya. Atas keteguhan hatinya melestarikan tanaman mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), pada 2011 Lulut pun mendapat penghargaan Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan dari Presiden SBY.
Amir Tejo / bersambung