Akhir Kasus Citibank: Hukum di Indonesia Punya Kasta! (1)

By nova.id, Senin, 12 Maret 2012 | 06:54 WIB
Akhir Kasus Citibank Hukum di Indonesia Punya Kasta! 1 (nova.id)

Akhir Kasus Citibank Hukum di Indonesia Punya Kasta! 1 (nova.id)
Akhir Kasus Citibank Hukum di Indonesia Punya Kasta! 1 (nova.id)

"Pria tempat bergantung keluarga ini telah tiada. (Foto: Repro, Dok Pri) "

Maksudnya?

Saya bingung, kok, seperti main-main? Sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya bayangkan. Sejak itu saya mulai pesimis. Dalam bayangan saya, seorang hakim ketua itu benar-benar menguasai sidang. Dialah pemimpinnya. Hakim juga dipanggil dengan sebutan Yang Mulia. Kalau hakim mau berpikir, sebetulnya sebutan itu luar biasa besar tanggung jawabnya, terutama terhadap Tuhan. Sebab, di dunia ini Yang Mulia adalah sebutan bagi orang yang bisa memutuskan keadilan, masa depan, dan nasib seseorang, setelah Tuhan. Ibu kita saja tidak kita panggil dengan sebutan Yang Mulia.

Anda selalu hadir di persidangan?

Hanya beberapa kali saya absen. Awalnya selalu hadir namun setelah tahu persidangan tidak obyektif, saya jadi malas. Lucunya, saat sidang, banyak saksi dari pihak Citibank yang beramai-ramai mencabut BAP. Padahal, saat di-BAP mereka, kan, didampingi pengacara. Yang aneh, hakim meminta mereka maju ke depan (meja hakim) untuk bertanya yang mana BAP masing-masing, lalu langsung memberi paraf persetujuan pencabutan.

Saat itu saya sampai bertanya kepada kuasa hukum saya, apakah boleh seperti itu. Dia bilang, seharusnya tidak boleh. Saya tidak tahu hukum, tapi saya jadi kasihan kepada para penyidik di kepolisian yang sudah bekerja keras membuat BAP siang-malam. Saya sendiri juga pernah diperiksa dan melihat mereka sampai enggak tidur, enggak sempat makan, dan tidak pulang ke rumah. Yang kemudian terjadi, para saksi seenaknya mencabut BAP, seolah tidak menghargai penyidik, terlepas dari penyidik berpihak atau tidak.

Apa lagi yang terasa aneh selama persidangan?

Saat agenda pledoi (pembelaan, Red.) terdakwa, kuasa hukumnya menuduh bahwa saya, Pak Tubagus (saksi kunci), dan Pak Mun'im Idris berbohong saat kesaksian dan mencari keuntungan dengan dipromotori Pak OC Kaligis. Sekarang, siapa yang diuntungkan? Lalu, saat digelar sidang setempat (sidang yang diadakan di tempat kejadian perkara, Red.) terlihat hakim tidak berperan sama sekali di sana.

Seharusnya, kan, hakim bertanya, ke mana saksi A, B, dan seterusnya, juga aktif bertanya soal peristiwa itu. Yang saya lihat, kuasa hukum Citibank sangat berkuasa saat sidang setempat itu. Yang terjadi, terkesan seolah-olah dia sedang memperkenalkan peresmian sebuah tempat baru. Dia hanya menunjukkan tempat-tempatnya dan hakim hanya mengiya-iyakan saja.

Selain itu?

Ketika jaksa minta saksi dari pihak Citibank memeragakan pencarian KTP yang digunakan untuk verifikasi data di sana, kuasa hukum terdakwa langsung menyudahi dan mengajak hakim beranjak dari situ. Dan hakim menurut. Kok, jaksa tidak dihargai? Yang juga membuat saya bingung, kata kuasa hukum saya seharusnya saksi kunci dihadirkan saat sidang setempat. Nyatanya, meski saksi kunci hadir, dia tidak diajukan dalam sidang setempat itu. Ketika kuasa hukum saya menanyakan hal itu kepada hakim, kuasa hukum terdakwa marah luar biasa tanpa mengindahkan etika dan mengusirnya dari ruangan. Sementara, hakim diam saja melihat hal itu. Ibarat orang Jawa, hakim hanya nggih, nggih (iya, iya) saja.

Anda marah kepada hakim?

Buat apa marah? Sudah rugi dizalimi, rugi saya akan berlipat-lipat kalau ditambah marah. Saya hanya bisa terus beristighfar dan berkata ke Tuhan, saya yakin Dia masih bersama saya menyaksikan semuanya. Semua ini membuat saya cukup tahu saja, oh ternyata ini begini, itu begitu. Kalau saja kesaksian para saksi kunci jadi pertimbangan hakim, hasilnya bukan hukuman karena perbuatan tidak menyenangkan.

Omong-omong, kenal dengan Tubagus dan Rosyid yang jadi saksi kunci kasus ini?

Ya. Mereka teman suami saya yang datang ke lokasi kejadian karena dihubungi pihak Citibank setelah suami saya "pingsan". Saat mereka datang dan mengecek denyut nadinya, suami saya sudah meninggal. Ketika dibawa turun dengan kursi roda, kakinya sudah kaku. Masak, orang pingsan, kok, kakinya kaku?

Pak Rosyid yang bersama pihak Citibank membawa suami saya ke RSAL Mintoharjo. Pak Tubagus mau bersaksi, saya berterimakasih. Tapi saya enggak tahu ke mana Pak Rosyid. Waktu saya telepon, dia bilang tidak bersedia bersaksi. Secara garis besarnya, alasannya karena anak-anaknya masih perlu makan. Entah dia diancam atau tidak oleh pihak Citibank dalam perjalanan ke RS, wallahualam.

Jadi apa yang sekarang diharapkan?

Saya harap jaksa banding dan semoga ada keadilan di situ. Bagi hakim, cobalah dikaji lagi apa tujuan orang menyebut dengan panggilan Yang Mulia, agar hakim bisa mengingat posisinya. Sebagai warga negara, saya berhak mendapat keadilan dan saya akan cari itu sampai ke mana pun!

 Hasuna Daylailatu / bersambung