Air di Sungai Cihideung cukup deras, naik sekitar 1 meter dari biasanya. Semalam memang hujan deras. Meski begitu, aku tidak merasa cemas. Maklum, aku dan warga setempat memang sering menyeberang melalui jembatan bambu tersebut. Kala itu, ada sekitar 23 orang bersama-sama lewat jembatan. Sambil tangan kiri berpegangan pada bambu, tangan kananku menggandeng Zahra.
Aku sempat melihat, Elang jalan di depan bersama kawan-kawannya. Hanya beberapa langkah lagi, ia sampai ke seberang. Ketika aku sampai di tengah-tengah, tiba-tiba saja jembatan ambruk. Aku seperti ditumpahkan ke dalam air deras. Tanpa ampun, tubuhku terempas ke dalam sungai.
Air yang begitu deras segera menghanyutkan kami. Aku terus berusaha untuk tetap memegang tangan mungil Zahra. Sekuat tenaga aku berusaha agar ia tak lepas dari genggamanku. Aku nyaris tidak tahu persis apa yang kemudian terjadi. Yang kurasakan hanya tubuhku terbawa arus. Aku tenggelam. Enggak tahu lagi, berapa banyak air sungai yang masuk dalam perutku.
Sesekali tubuhku membentur batu kali yang memang cukup banyak. Aku tak menghiraukan rasa sakit. Sampai akhirnya, arus membawaku ke pinggir. Tubuhku tertahan batu besar. Asal-asalan aku mencoba berpegangan pada bambu. Sungguh, tubuhku sudah begitu lemas tapi kurasakan tangan Zahra masih kupegangi. Aku berusaha agar ia tak lepas. Aku berusaha menyelamatkannya. Namun kesadaranku memudar dan aku tak ingat lagi. Ia pun lepas dari genggamku.