Antara sadar dan tidak, aku melihat ada tiga warga menolongku. Tubuhku ditemukan sekitar 500 meter dari jembatan. Mereka segera membawaku ke posko yang ada di kampungku dan memberi perawatan. Setelah sadar, aku tahu Elang selamat. Belakangan kuketahui, saat Elang ditolong warga, posisinya tak jauh dariku. Aku sempat lega. Namun, bagaimana nasib Zahra?
Suasana kampungku jadi begitu panik. Hari itu aku mendengar kabar, dari 23 warga yang melintas jembatan, 8 orang dinyatakan hilang terbawa arus, termasuk Zahra. Pada hari pertama kejadian, semula suamiku berusaha ikut mencari namun dilarang para tetangga. Mereka takut, malah terjadi apa-apa dengan suami karena kondisinya syok.
Tinggallah aku dan suami menunggu kabar berita pencarian korban. Aku sempat berharap Zahra bisa ditemukan. Apalagi, tim SAR dan para relawan siang-malam terus menyusuri sungai untuk mencari korban.
Benar juga, saat aku masih dalam perawatan, kudengar kabar bahagia. Tim penolong berhasil menemukan tiga orang yang masih hidup. Salah satunya bernama Zahra. Aku sempat lega. Untuk memastikan kebenarannya, suamiku segera mengecek. Oh, ternyata bukan. Kembali, aku lemas.
Hari berganti, tiap hari ada jasad korban berhasil ditemukan. Namun. Zahra masih juga belum ada kabar. Sampai akhirnya, Kamis (23/2), kudengar berita, Zahra sudah berhasil ditemukan di sebuah sungai di kawasan Tangerang. Aku lega, meski Zahra ditemukan sudah meninggal. Total, delapan warga tewas, 7 di antaranya anak-anak. Jasad mereka dimakamkan berdampingan di pemakaman setempat.
Ah, Zahra... Begitu banyak kenangan pada anak bungsuku ini. Tiap malam ia tidur tak mau jauh dariku. Hanya sehari sebelum kejadian saja, ia tampak tak mau kudekati. Ia memilih tidur dekat kakaknya di malam itu, seolah ingin pamitan. Hatiku hancur bila ingat kata-kata terakhir soal permintaan agar ayahnya minta maaf.
Aku juga masih teringat jelas, beberapa hari sebelumnya, ia tak pernah lupa mengabsen nama teman-teman sekelasnya. Di bukunya, ia menulis namaku dan suami. Anakku yang kelas 1 SD itu juga sempat mengungkapkan cita-citanya menjadi guru. Zahra yang rajin membaca memang begitu mengidolakan guru-gurunya.
Betapa pun beratnya, aku sudah merelakan kepergiannya. Selamat jalan, Dek. Maafkan, Ibu tak berhasil menolongmu...
Henry Ismono / bersambung