Setelah "terusir", lalu apa yang terjadi?
Nah, saya melihat anak-anak sudah kadung senang sekolah di sini, jadi pekerjaan utama saya sebagai penjual besi tua mulai ditinggalkan. Sebaliknya, saya juga sudah terlanjur cinta pada anak-anak. Saya ingin fokus mengurus mereka. Kemudian saya korbankan rumah kontrakan untuk dijadikan sekolah.
Tak hanya itu, kios di pasar loak yang selama ini jadi sumber nafkah keluarga, saya jual juga. Uangnya untuk membiayai operasional sekolah ini. Bahkan saat itu, meski muridnya cuma 49 orang, tenaga gurunya sudah ada 14 orang. Sehingga gurunya banyak yang menganggur.
Bagaimana tanggapan keluarga saat itu?
Setiap hari saya menangis memikirkan yayasan. Saat mulai fokus mengurus yayasan ini saya dibenci oleh tetangga. Bahkan orangtua saya pun sampai mengultimatum, jangan pernah mengunjungi keluarga kalau masih mengelola sekolah. Tak hanya itu, istri pun minta cerai, anak dan mertua juga tidak setuju. Tapi saya bersikeras.
Lantas apa yang terjadi?
Karena terlanjur dibenci orang banyak, sekalian saja semua perhiasan istri saya ambil, lalu dijual. Kalau tidak salah saat itu laku sekitar Rp 3,7 juta. Uang ini saya pakai ke Jakarta untuk mencari donatur. Ketika itu, gaji guru dan biaya operasional sekolah hanya mengandalkan kotak infaq. Dari mana saya bisa menggaji guru kalau hanya mengandalkan kotak infaq?
Saya pun berangkat ke Jakarta naik kereta api sambil membawa peralatan tulis. Di dalam kereta, selama perjalanan menuju Jakarta saya tak bisa tidur. Yang ada hanya air mata saja mengalir deras di pipi, sambil menulis proposal minta sumbangan yang ditujukan kepada Pak Habibie. Ketika itu Pak Habibie masih jadi Menristek.
Sesampainya di Jakarta apakah berhasil menemui Habibie?
Jujur, itu sebenarnya pertama kali saya ke Jakarta, lho. Nekat, saya cari rumah Pak Habibie. Setelah ketemu rumahnya, saat mau masuk terhalang birokrasi. Untung saya tidak digebuki oleh si penjaga. Akhirnya saya menyerah. Ya, sudah kalau tak bisa ketemu, tidak apa-apa. Saya akhirnya pergi dari rumah itu.
Gagal menemui Habibie, apa yang kemudian dilakukan?
Esok harinya saya mencari rumah Pak Tri Sutrisno. Pada saat ia menjabat sebagai wakil presiden. Saat mau masuk rumahnya, lagi-lagi saya terhalang birokrasi. Boro-boro mau memasukkan proposal, diajak bicara saja tidak bisa. Penjaga rumah Pak Tri Sutrisno saat itu bisanya hanya marah-marah kepada saya.
Gagal menemui Tri Sutrisno, keesokan harinya saya mencari rumahnya Rhoma Irama. Berangkat jam satu dini hari, baru ketemu rumahnya pukul 09.00 pagi. Nah, kebetulan waktu itu saya bisa bertemu langsung dengan Rhoma Irama. Tapi pada saat bertemu, Rhoma bilang ke saya, "Sampeyan kalau minta permohonan atau sumbangan, proposal saya di sana juga menumpuk. Jadi maaf saya tidak bisa membantu." Saya jawab, "Ya, sudah, tidak apa-apa." Wong bisa ketemu saja sudah senang.
Akhirnya saya pulang dengan tangan kosong. Di perjalanan pulang, saya lihat Rhoma mengendarai Jeep-nya. Iseng, mobilnya saya buntuti. Sayang, saya kehilangan jejak. Ya, sudah saya lalu salat Jumat di masjid di kawasan Tebet, Jakarta. Ndilalah, saat Jumatan itu, kok, kersaning Allah, yang duduk di sebelah saya Rhoma Irama!
Selesai Jumatan, saya buntuti lagi dia. Lalu saya bilang lagi ke dia, "Bang Rhoma, ini mungkin sudah jodoh, saya minta sumbangan Anda meskipun sedikit. Akhirnya Rhoma meminjam uang kepada orang yang mendampinginya, bernama Dedi Irama. Lalu saya diberi uang Rp 75 ribu. Meski tak seberapa, ya, alhamdulillah bisa jadi tambahan saya beli makan selama di Jakarta.
Amir Tejo / bersambung