Alat dan bahan pembuatan SC sebenarnya tak terlalu macam-macam, hampir sama dengan alat dan bahan untuk membuat kue biasa. Mikser, oven, loyang, spatula, dan baskom, "Manfaatkan saja yang sudah ada di rumah." Jika pesanan sudah mulai banyak, baru boleh perbaharui alat dengan yang lebih canggih. "Kalau mikser kecil sudah tak mencukupi, bisa ganti yang besar dan otomatis. Begitu pula dengan oven yang lebih besar agar lebih banyak adonan yang bisa tertampung," kata Dewi.
Investasi terpenting dalam usaha SC adalah alat dekor kue yang harganya tidak murah. "Di Indonesia belum ada produsennya, jadi masih harus impor dari Amerika atau Inggris. Kalaupun ada agen yang menjual di sini, harganya lebih mahal lagi."
Selain itu, investasi lain yang tak kalah penting adalah buku sebagai sumber referensi. Kendati Dewi pun tak menyarankan menggunakan gambar dari buku sebagai contoh kue jualan. "Lebih baik gunakan kue hasil buatan sendiri. Karena jika memberi contoh dari gambar di buku, lalu saat dibuat sendiri hasilnya berbeda, bisa bahaya buat diri sendiri," terangnya.
Selanjutnya, perlakukanlah SC tak ubahnya sebuah karya seni. Artinya, ketika membuat SC usahakan bentuk kue semirip mungkin bentuk aslinya. Pasalnya, kini banyak yang menjual SC asal-asalan. "Banyak yang bikin SC, tapi tak semua bisa mirip benda aslinya. Banyak yang asal bikin saja."
Di sisi lain, Dewi mengaku, rela bersusah payah demi menghasilkan kreasi yang semirip mungkin dengan asliya. "Saat hendak membuat bentuk Jeep misalnya, karena tak punya Jeep saya bela-belain mencari Jeep asli agar bisa memperhatikan detail sekecil apapun. Nah, perjuangan ini yang harus dihargai," terangnya.
Pandangan konsumen yang menganggap tukang kue hanya mengocok dan mencampur bahan menjadi kue juga harus diungkap. "Tidak semudah itu. Justru seperti arsitek, pakai hitungan segala. Misalnya saat membuat model panda, bagaimana agar kepala dan badannya seimbang. Jika salah perhitungan bisa amblas," tukas Dewi.