Kenangan Adi pun lantas kembali ke kejadian malam itu, pukul 21.30 waktu setempat saat kapal terasa miring. "Sebenarnya kalau miring, sih, sudah biasa. Tapi makin lama, kok, makin miring. Piring-piring mulai berjatuhan dan pecah. Tamu-tamu tidak nyaman makan. Tadinya saya pikir hanya ada ombak besar, sekali goncangan saja akan selesai. Rupanya di lantai bawah kondisinya sudah sangat parah."
Akhirnya, lampu mati dan semua penumpang meninggalkan restoran. Saat lampu kembali menyala remang-remang, restoran sudah hancur. "Akhirnya evakuasi dilakukan ke bagian yang tidak miring, yaitu di lantai 4. Air yang masuk sudah sampai selutut, rasanya dingin sekali. Melangkah pun terasa berat saking dinginnya."
Adi terakhir masuk ke sekoci setelah mengangkut semua penumpang. "Waktu itu posisi lantai sudah menjadi dinding, sementara tembok menjadi lantai. Saya lihat teman di posisi yang miring mencoba berenang. Kalau tidak berenang mungkin dia sudah hilang."
Semua barang berharga Adi hilang, termasuk uang. "Untungnya gaji saya sudah ditransfer. Memang, karena ada pengurangan gaji saya harus irit, tidak banyak menelepon keluarga di Indonesia," papar Adi sambil mengatakan kejadian itu nyaris sama dengan tenggelamnya Titanic 100 tahun lalu. "Orang saja menyebutnya Titanic Italia. Saya juga pernah nonton film Titanic, ternyata sekarang mengalami sendiri."
Hingga kini, dari 170 ABK asal Indonesia, masih ada satu orang yang dirawat di rumah sakit di Italia. "Dia terjatuh dalam posisi miring, tulang belakangnya patah," kata Adi yang mulai berlayar sejak 2005. "Berlayar memang jadi keinginan sendiri dan cita-cita sejak lulus sekolah. Selama itu, baru kali ini mengalami kejadian besar seperti ini. Sebelumnya sudah pernah, tapi hanya kecelakaan kecil saja seperti kapal bocor."
Sebelum kejadian, Adi yang bekerja sebagai Leader (kapo) di restoran ini bahkan sempat mengalami firasat. Bersama 6 anak buahnya, Adi merasa ingin segera pulang. "Padahal, seharusnya baru Agustus bisa pulang. Eh, ternyata sekarang pulang betulan, tak sampai Agustus. Bahkan bisa bareng pulang dengan teman yang mau pulang Februari."
Meski tak kapok berlayar lagi, Adi mengaku butuh waktu untuk menenangkan diri. "Mempersiapkan mental dan mengurus dokumen karena semua hilang. Yang saya bawa pulang sekarang hanya surat pengganti paspor saja."
Rencananya, setelah Agustus, Adi ingin merasakan Lebaran bersama keluarga di rumah. "Selama 6 tahun tak pernah Lebaran di rumah," tutur Adi yang senang berlayar karena gajinya besar. "Dibanding kerja di sini dengan posisi sama, pasti butuh waktu lama buat dapat gaji besar. Selain itu, tentu saja bisa ke luar negeri gratis," papar Adi.
Akan halnya dengan Arif yang sudah menjadi ABK sejak 1991. Pria yang segera berkirim SMS ke istrinya di Tanjung Priok untuk memberi kabar setelah kejadian ini, tak merasa jera. "Pelaut sudah jadi darah saya. Saya berprinsip, mati adalah takdir Tuhan. Makanya setelah istirahat, saya akan kembali berlayar."
Kerja keras KBRI Italia mengembalikan seluruh ABK asal Indonesia ke Tanah Air juga membuatnya bersyukur. "Saya hanya memikirkan rekan saya, juru mudi Jakob yang kala itu pegang kemudi. Sampai sekarang ia masih dalam pemeriksaan," kata Arif.
Henry, Nove / bersambung