Perjuangan Irmaya Haryuni Hadapi Kanker (2)

By nova.id, Selasa, 24 Januari 2012 | 06:18 WIB
Perjuangan Irmaya Haryuni Hadapi Kanker 2 (nova.id)

Perjuangan Irmaya Haryuni Hadapi Kanker 2 (nova.id)
Perjuangan Irmaya Haryuni Hadapi Kanker 2 (nova.id)

"Kelapaku langsung kugunduli ketika tahu rambutku mulai rontok dan menipis pasca kemoterapi pertama.(Foto: Dok Pri) "

Kepala Plontos

Kendati operasi pengangkatan kanker sudah berhasil baik. sebenarnya itu baru awal penderitaan, karena masih ada penderitaan lain yang jauh lebih berat yang harus aku lewati. Di antaranya memasuki fase pengobatan dengan kemoterapi. Yang membuat aku tak siap adalah efeknya yang bisa membuat seluruh rambut kepala rontok. Bagaimana bisa ikhlas, selama ini aku adalah perempuan yang dikenal berambut tebal dan hitam.

Aku tak pernah terlewat melakukan perawatan untuk rambutku. Tentu saja, hancur perasaanku ketika kekhawatiran soal rontoknya rambut akan menghampiri diriku, cepat atau lambat. Ya, kekhawatiranku memang menjadi nyata. Selepas kemo pertama, rambutku mulai rontok dan menipis. Mau tak mau, kenyataan ini harus aku terima pula dengan lapang dada.

Tapi aku tak bisa melihat kondisiku sendiri. Rambutku yang tergerai panjang dan lebat, kini tinggal kenangan. Aku pun sempat beberapa lama tak mau berkaca di depan cermin. Selanjutnya, untuk menyiasatinya aku membeli berbagai macam wig, mulai dari yang murah sampai yang mahal. Ya, namanya juga rambut palsu, tak ada yang nyaman. Rasa gerah, gatal, dan sebagainya selalu muncul ketika memakainya.

Daripada pusing dengan persoalan rambut, aku pun nekat menggundulinya sekalian. Aku ingat, aku menggunduli rambut saat bersama Mas Miming dan keluarga berlibur ke Malang. Percaya atau tidak, aku memangkas habis rambutku ke tukang cukur di bawah pohon beringin dengan ongkos Rp 5 ribu. Agar orang lain tak aneh melihatku gundul, akhirnya aku memutuskan mengenakan jilbab.

Oh ya, akibat sakit yang aku alami, akhirnya perkawinan yang sudah aku dan Mas Miming rencanakan dengan matang akhirnya ditunda hingga batas waktu yang belum bisa ditentukan. Dan selain soal rontoknya rambut, masih ada lagi penderitaan lain yang harus aku rasakan dari efek kemo.

Setiap kemo yang selama tiga jam yang harus aku lakukan, reaksi hebat pun mulai terasa. Badan lemas dan tak mau berhenti muntah. Karena itu, tubuhku rasanya jadi sakit semua. Celakanya, kemo yang aku jalani tak cukup hanya sekali tapi harus sampai enam kali, yang masing-masing berjarak sekitar dua minggu lamanya.

 Duh, bila mengingat semua itu rasanya hati ini sedih sekali. Sebelum kemo, kondisiku pun harus fit, dan kadar lekosit harus cukup. Jika tak mencukupi, maka kemo akan ditunda. Untuk meningktkan lekosit dalam darah, salah satunya harus banyak mengonsumsi putih telur, yang sehari sampai bisa 15 kali, serta minum jus ikan gabus! Bisa dibayangkan betapa amisnya. Meski, sudah dibuat beraneka rasa buah, tetap saja sehabis diminum langsung muntah saking amisnya.

Setelah dikemo selama 6 kali, pengobatanku belum lah usai. Agar sel kanker yang ada di payudaraku benar-benar mati, harus dilakukan radiasi penyinaran selama 30 kali setiap hari di RS Dr. Soetomo Surabaya. Selama menunggu panggilan penyinaran itu setiap hari aku harus berjubel dengan orang-orang yang senasib denganku. Bahkan, banyak yang jauh lebih parah. Ada yang kankernya mengenai bagian mata, wajah, dan bagian-bagian vital lainnya. Bahkan, (maaf) ada yang sampai berbau busuk.

Di sanalah kemudian muncul perasaan malu pada diri sendiri. Dibanding mereka, sebenarnya aku tak layak menggerutu karena ternyata aku masih jauh lebih beruntung. Itu menjadi menjadi titik balik bagi hidupku. Aku pun memutuskan stop mengasihani diri sendiri dan menggerutu.

Bahkan, di tengah penderitaan aku bersumpah, kanker memang telah merengut segalanya dariku. Mulai dari payudaraku, rambutku, karierku, sampai fisikku. Tapi kanker jugalah yang membuatku terpacu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Semangat itu yang membuatku termotivasi untuk sembuh. Dan pasca operasi, untuk menghabiskan waktu di rumah setiap hari aku menghabiskan waktu dengan browsing dan belajar tentang banyak hal. Salah satunya, aku mendapat jawaban bahwa penyebab utama munculnya kanker ternyata lebih banyak ke soal psikologis.

Jalan Spiritual

Saat itu aku juga mulai memperdalam segala hal yang bersifat spiritual, salah satunya membaca sekaligus ikut program quantum ikhlas. Di tempat ini pesertanya akan diajari mengelola emosi untuk bisa menerima segala sesuatu yang dialami dengan ikhlas. Justru dengan keikhlasan, apa yang kita inginkan akan tercapai.

Ternyata memang benar, setelah aku jalani semua itu dengan lapang dada dan penuh keikhlasan, tak hanya kesembuhan yang aku rasakan, tetapi Allah juga memberi jalan terbaik bagiku. Tiba-tiba saja aku mendapat ide mengembangkan usaha rumahan bersama Ibu yang kebetulan pandai membuat schotel. Makanan buatan Ibu kemudian aku pasarkan lewat jejaring sosial Facebook. Usaha itu kuberi nama Toko Pasta Online "Madame Schotel".

Agar penjualannya makin laku keras, aku juga buatkan website www.madameschotel.com. Aku sendiri, sebenarnya semula gaptek. Tapi dengan semangat yang tinggi, akhirnya berhasil membuat website sendiri. Dan lagi-lagi karena kuasa Allah, kini usahaku sudah berjalan cukup pesat. Kadang saking banyaknya pesanan, kurirku sampai kewalahan sehingga aku pun sempat sampai harus mengantar sendiri schotel pesanan.

Yang lebih membahagiakanku lagi, setelah dokter menyatakan aku sudah pulih, hari perkawinanku dengan Mas Miming yang sudah lcukup lama tertunda akhirnya bisa terlaksana, tepatnya pada 15 Agustuis 2009 lalu. Tak tergambarkan betapa bahagiannya hatiku. Mas Miming pun selam itu menunjukkan kesetiannya untuk tetap menungguku. Sayangnya, satu hal yang menjadi ganjalanku sekarang adalah persoalan anak. Karena menurut dokter, aku baru boleh mengamdung minimal 5 tahun setelah operasi.

Kendati demikian, dr. Ario Djatmiko, yang menanganiku saat ini sudah memberi lampu hijau untuk aku bisa mengandung. Semoga saja apa yang kuharapkan bersama Mas Miming untuk mendapatkan buah hati bisa segera terwujud, untuk melengkapi kebahagiaan kami.

Gandhi Wasono M.