Mempertahankan Jejak Tionghoa dalam Seni (1)

By nova.id, Minggu, 22 Januari 2012 | 02:09 WIB
Mempertahankan Jejak Tionghoa dalam Seni 1 (nova.id)

Nonton Cap Go Meh diangkat dari novel era tahun 30-an karya Kwee Tek Hoay (KTH). KTH dikenal sebagai sastrawan Melayu Tionghoa yang sangat produktif. Sepanjang karier kesastrawanannya, ia menghasilkan ratusan karya baik novel, naskah drama dan puisi. "Sayang, selama ini karya sastra Melayu Tionghoa kurang begitu diperhatikan, bahkan cenderung terpinggirkan. Bahkan dalam sastra kita, sastra Melayu Tionghoa ini tidak dianggap sebagai karya sastra. Padahal, dalam hal produktivitas dan kualitas karya mereka tidak kalah," lanjut Daniel.

Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Univeristas Indonesia ini melanjutkan, baru setelah era reformasi orang mulai menengok karya sastra Melayu Tionghoa. "Nah, saya dan teman-teman ingin menggaungkannya lewat pentas. Sejak tahun 2004, kami sudah intens memanggungkannya," tutur Daniel yang ikut mendirikan Teater Bejana 19 Mei 2002.

Mempertahankan Jejak Tionghoa dalam Seni 1 (nova.id)

"Lakon Nonton Cap Go Meh karya KTH sudah beberapa kali dipentaskan dan tetap saja disukai banyak penonton (Foto: Totok Wijayanto/KOMPAS) "

Awalnya mereka memainkan lakon Bunga Ros dari Cikembang karya KTH. Tahun-tahun berikutnya, mereka terus memanggungkan karya KTH seperti Zonder Lentera, Allah yang Palsu dan Pencuri Hati. "Di antara lakon KTH, Nonton Cap Go Meh termasuk yang sering kami pentaskan."

Menurut Daniel, karya KTH yang kaya misi tak hanya bagus untuk tontonan, tapi juga tuntunan karena berisi ajaran moral dan punya muatan sastra yang kental. "Misalnya saja lakon Zonder Lentera tentang pemimpin yang suka bohong. Ada juga tentang orang yang mendewakan harta. Ia juga bicara soal pembauran," tutur Daniel. Selain itu, lanjutnya, Teater Bejana juga berencana akan mementaskan sastrawan Melayu Tionghoa lainnya. Misalnya saja Soe Li Pit (ayah Soe Hok Gie, Red). "Karya-karya Soe Li Pit juga menarik untuk dipentaskan."

Bisa jadi karena karena kerap mementaskan lakon berlatar Tionghoa, "Sudah tiga tahun terakhir ini kami punya jadwal main di Gedung Kesenian Jakarta berkaitan dengan Imlek. Kami bahagia, pentas-pentas kami cukup menarik perhatian, baik dari penonton maupun media."

 Daniel tak menduga, pentas teaternya tak hanya disukai oleh orang-orang tua. Anak-anak muda pun banyak yang suka. "Bahkan, ada penonton kami yang sampai memborong tiket untuk karyawannya," kata Daniel seraya mengatakan, pentas Teater Bejana sering berkolaborasi dengan kelompok barongsai Alam Semesta dari Vihara Tri Dharma Cipinang. "Pentas kami cenderung kolosal. Untuk pemain barongsai saja ada 20-an pemain. Total dengan pemain dan pemusik kami, lakon Nonton Cap Go Meh diperkuat sekitar 60-an pemain."

Sebagai lakon realis, Daniel berusaha mendekatkan panggung dan kostum dengan suasana tahun 30-n sesuai dengan setting cerita. Termasuk juga soal dialek. "Soal dialek dan bahasa ini, kami punya konsultan. Awalnya memang susah berbahasa dengan menggunakan bahasa Melayu Tionghoa era 30-an itu. Lama-kelamaan, sih, kesulitan ini bisa diatasi," papar Daniel.

Untuk ke depan, Teater Bejana tetap akan konsisten memainkan lakon berlatar masyarakat Tionghoa. Dengan pilihan ini, Teater Bejana pun memiliki segmen penonton tersendiri.

Debbi Safinaz, Henry Ismono / bersambung