September 2010, pernikahanku dengan NC akhirnya tercatat di Catatan Sipil Jakarta Selatan. Sebagai penganut Katolik, aku harus meminta surat dari Romo di gerejaku. Setelah pernikahan kami resmi, kami mulai mengurus surat-surat bagi DNC. NC pun mendaftarkan pernikahan kami di Kedutaan Besar Turki dan mendaftarkan DNC sebagai anak. Kartu identitas dan paspor DNC juga ikut diurus.
Pengurusan surat-surat resmi DNC ini kerap menjadi topik pertengkaran kami. November 2010 NC membekap mulutku dan menekankan tangannya ke kepalaku di lantai. Dia kesal karena proses pembuatan akta kelahiran DNC makan waktu lama. Terang saja aku lamban mengurus masalah ini. Aku, kan, harus mengurus bayi dan anak berkebutuhan khusus yang mulai beranjak remaja. Karena NC terus mendesak, akhirnya aku minta tolong seorang teman untuk mengusus akta kelahiran DNC. Tak kusangka, tindakanku ini yang kemudian mengantarkanku ke penjara.
Mengancam Membunuh
Pertengkaran kami yang seakan tak pernah putus akhirnya mencapai puncaknya pada Januari 2011. Sepulang dari perjalanan bisnisnya ke Cina, NC minta bercerai. Sebagai penganut agama yang tak memperbolehkan perceraian, aku menolak. Permintaannya hanya kujawab dengan diam.
Jika pun kami bercerai, aku lalu menanyakan bagaimana nasib DNC. NC bersikeras membawa DNC. Terang saja aku tak rela. Aku yang melahirkannya! Kutantang dia untuk memperebutkan hak asuh DNC di pengadilan, NC meradang. Mendadak dia membekap mulutku dan mengatakan akan membunuhku jika berani melawannya. Saking kerasnya bekapan, bibirku sampai terluka. "Aku akan berbuat apapun demi mendapatkan DNC. Bahkan menyuap hakim sekalipun," katanya waktu itu.
Keesokan harinya, lagi-lagi NC mengajak bertengkar soal DNC. Ketakutan, aku pergi ke Polres Jaksel dan mengambil visum luka di bibirku untuk bahan laporan KDRT. Merasa tak aman, aku memutuskan minta perlindungan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) per Februari 2010. Sebulan kemudian, bersama DNC aku lalu menempati shelter di Rumah Aman. Saat itu, secercah harapan seakan muncul untukku.
Namun, lagi-lagi aku hanya menggapai harapan palsu. Juli tahun lalu, DNC melaporkanku dengan tuduhan pemalsuan akta kelahiran DNC. Entah mengapa, statusku yang awalnya dilindungi berbalik jadi tersangka, padahal aku sangat kooperatif menjalani penyidikan. Anehnya, surat perlindunganku di PPA hingga kini pun tidak pernah dicabut. Seakan tak cukup jadi tersangka, aku juga harus merasakan dinginnya lantai penjara.
Di sidang nanti, aku terancam hukuman 7 tahun bui! Terang saja aku syok. Apalagi aku, kan, masih menyusui DNC. Hingga detik ini tak ada yang lain yang kupikirkan selain nasibku dan DNC. Aku yakin ini adalah akal-akalan NC untuk merebut DNC dariku. Sungguh, aku tak bersalah. Semoga keadilan berpihak padaku.
Swita A. Hapsari / bersambung