Kabar hilangnya pesawat Rian itu sampai ke kami lewat pihak sekolah. Sungguh tak tergambarkan bagaimana gelisahnya kami sekeluarga. Dalam hatiku tersisa harapan tipis Rian akan selamat. Setelah dua hari pesawat Cessna dinyatakan hilang kontak, aku dan saudaraku berangkat mencari Rian ke pegunungan di sekitar rute penerbangannya. Bersama warga setempat dan tim SAR, kami menyusuri Gunung Burangrang. Perasaanku mengatakan Rian tak ada di sana. Sepanjang pencarian, air mataku tak henti mengalir.
Kamis malam sehabis salat saat mencari di Gunung Lingga, aku seakan diperlihatkan sosok Rian sedang duduk. Istriku juga merasakan hal sama. Ia seperti melihat sosok Rian. "Tapi Rian nangis. Tandanya masih ada kehidupan, Pa. Dia pasti masih hidup," kata istriku. Tiga hari dan tiga titik pencarian kulalui, namun hasilnya nihil. Saat itu aku sudah berpikir, seandainya Rian tak juga ketemu, aku pasrah. Aku lalu menancapkan tombak yang kubawa ke Gunung Lingga. Kalau keluarga ingin berziarah, aku anggap di sanalah Rian dikuburkan.
Sambil terus berjalan mencari Rian, terbayang semua kenangan indah saat ia kecil. Rian kecil memang anak yang penuh semangat. Tiap sepupunya ke sekolah, ia ingin ikut padahal umurnya belum cukup. Lucunya, justru ia yang bangun lebih pagi. Di kelas pun, ia hanya duduk dan tertidur.