Wisata Kuliner di Blitar, Yang Murah Meriah Sampai yang Super Pedas (1)

By nova.id, Rabu, 9 November 2011 | 01:36 WIB
Wisata Kuliner di Blitar Yang Murah Meriah Sampai yang Super Pedas 1 (nova.id)

Soal harga, Mak Ti juga menyebutkan, terbilang murah. Pembeli bisa makan nasi dan lauk sepuanya cukup dengan membayar Rp 8 ribu ditambah Rp 2 ribu untuk segala jenis minuman yang ada. "Kalau mau tambah ikan satu piring penuh, baru saya minta tambahan Rp 5000, tapi kalau cuma mengambil dua atau tiga ikan saja, akan saya gratiskan," imbuh Mak Ti.

Dengan meningkatnya jumlah pembeli, tentu penghasilannya jadi luar biasa. Rata-rata dalam sehari, ia menerima pemasukan Rp 8 - 10 juta. "Selain dimakan di tempat, tidak jarang pembeli juga minta diantar makannya. Saya juga melayani katering untuk rombongan dalam jumlah besar yang datang dari berbagai daerah," imbuhnya.

Salah seorang pelanggan Mak Ti, Yuli, yang berdinas di Kantor Pendapatan Daerah Kab. Nganjuk terlihat datang bersama beberapa temannya untuk makan. Ia mengaku sudah sering menikmati masakan Mak Ti. "Kebetulan saya bersama teman-teman ada tugas di Blitar, jadi sebelum pulang kami sempatkan mampir makan siang bersama di sini," imbuh Yuli.

Wisata Kuliner di Blitar Yang Murah Meriah Sampai yang Super Pedas 1 (nova.id)
Wisata Kuliner di Blitar Yang Murah Meriah Sampai yang Super Pedas 1 (nova.id)

"Nasi Pecel Mbok Bari sudah ada sejak tahun 1940-an. Bahkan menjadi langganan Bung Karno dan keluarganya, termasuk Megawati Soekarnoputri (Foto: Gandhi Wasono M) "

Melayani Sendiri

Susiana juga ikut menjelaskan, pada dasarnya membuat bumbu pecel di manapun resepnya hampir sama. Tapi persoalannya, selain masing-masing orang memiliki perasaan yang berbeda dalam hal cita rasa, ada satu hal lagi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bumbu yang lezat. Yaitu soal kualitas bahan.

Misalnya, untuk menghasilkan rasa bumbu yang pas, selain formula takaran antara satu bumbu dengan lainnya harus pas, kacang yang dijadikan bahan utama juga harus berkualitas terbaik. Di antarannya, ukuran butiran kacang itu harus rata satu dengan lainnya. "Misalnya, sebutir kacang berukuran 8 mm, maka secara keseluruhan juga harus berukuran 8 mm. Kalau yang lainnya lebih kecil-kecil, berarti itu kacang muda. Kalau tetap digunakan, rasanya akan jauh berbeda. Sebab ketika digoreng, kematangan tidak bisa sama antara satu butir kacang dengan lainnya," imbuh Susiana.

Selain itu, untuk menghasilkan bumbu yang gurih, harus tetap menggunakan kacang lokal. Kacang "made in" India yang saat ini banyak dijual di pasaran, apabila dijadikan bahan bumbu pecel akan menghasilkan bumbu yang kurang gurih. "Tak peduli kacang lokal harganya lebih mahal, tetap akan saya pilih demi menjaga kualitas. Kami, kan, sudah lama berjualan, jadi soal bahan tidak berani main-main," imbuh Susiana seraya mengatakan, jika siang hari pembeli nasi pecelnya sebagian besar adalah para karyawan kantor pemerintahan.

Untuk saat ini, lanjut Susiana, dalam sehari ia bisa menghabiskan sekitar 30 kilogram beras, bahkan jika musim liburan atau ada kegiatan di makam Bung Karno, dalam sehari ia bisa menghabiskan 75 kilogram beras. Sedangkan untuk sayuran pecelnya, ia menyediakan berbagai macam jenis, dari daun turi, bayam, kacang, kecipir, daun pepayan, daun ketela, cambah, juga daun kenikir.

Agar makin bersemangat makan, pembeli diminta mengambil sendiri nasi dan lauk pauk mendamping pecelnya, seperti tahu, tempe, dan berbagai masakan ikan. "Kalau diminta mengambil sendiri, kan, ada kesan pembeli jadi merasa lebih istimewa daripada diladeni," ujar Susiana.

Gandhi Wasono M / bersambung