Aku semakin bingung. Apalagi saat itu jam menunjukkan sekitar jam 04.00. Petugas menyarankan agar aku pulang dulu untuk mencari bantuan. Kutinggalkan Nisza bersama istri. Satu-satunya jalan adalah pulang ke rumah, berharap orangtua atau saudara bisa membantu. Aku harus berlomba dengan waktu, sementara sepeda motor dibawa adikku dan angkutan umum belum beroperasi.
Aku berlari menuju rumah sambil menangis. Apa jadinya bila aku tak berhasil membawa uang? Berarti, Nisza tak bakal mendapat obat. Sekitar setengah jam kemudian, aku sampai rumah lalu menceritakan nasib Nisza. Akhirnya aku kembali lagi ke RS bersama orangtua dan saudaraku tanpa berhasil mendapat uang. Karena belum ditebus, Nisza belum diberi obat. Setelah bernegosisasi dengan alot, barulah obat yang belum mampu kubayar itu diberikan.
Kami sangat berharap, obat itu akan menolong Nisza. Apa mau dikata, hingga pagi menjelang, kondisi anakku tak juga membaik. Dokter jaga mengatakan, jika sampai jam 06.00 kondisinya masih buruk, Nisza mesti dirawat di ruang ICU. Pikirku saat itu, kenapa mesti menunggu, sementara Nisza sudah tak sadarkan diri. Akhirnya Nisza baru masuk ICU jam 08.00
Bukannya tenang, aku dibuat bingung lagi karena ada resep baru yang harus ditebus. Total harganya sekitar Rp 200 ribu. Kali ini, ibuku yang berusaha mencari pinjaman ke saudara di Bandung. Pada saat itu, kondisi Nisza terus menurun. Dokter minta istriku tanda tangan untuk melakukan penanganan efektif yang aku tidak tahu maksudnya. Aku benar-benar sudah pasrah.
Tak Menuntut
Pukul 11.00, dokter mengabarkan, nyawa Nisza tak bisa diselamatkan. Hanya beberapa saat setelah mendapat kabar duka itu, ibuku datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa uang pinjaman. Sayang, sudah terlambat. Ibuku begitu terpukul. Istriku sampai pingsan saking sedihnya, sementara tangisku pecah.
Nisza yang sudah tak bernyawa ternyata masih harus mengalami hal menyedihkan karena kami, orangtuanya, tak punya biaya. Untuk membawa jasadnya dengan ambulan RS, aku harus membayar Rp 200 ribu. Akhirnya jenazah putri kecilku kami bawa dengan angkutan umum, dengan biaya Rp 50 ribu.
Sedih, miris, terpukul, itulah yang kami rasakan. Aku merasa tidak bisa menolong anakku karena keadaan ekonomi kami yang tidak memungkinkan.
Maafkan Ayah, Nisza...
"Mungkin Hanya Kesan"
"Pasien langsung ditangani, kok. Kami, kan, punya dokter yang siap 24 jam. Tak benar kalau Nisza ditangani dengan lamban," bantah Direktur Rumah Sakit MAL, H. Zakaria Ansyori. Ia membenarkan, Jumat (21/10) itu kedatangan pasien bernama Nisza. "Langsung ditangani. Pasien sudah diberi infus dan obat meski resep belum ditebus."
Karena pasien harus dirawat inap, lanjutnya, "Otomatis kami kasih surat pengantar untuk mendaftar. Protapnya memang seperti itu. Sudah dijelaskan juga, untuk perawatan mesti deposit Rp 500 ribu. Dan perlu diingat, mereka datang sebagai pasien umum, bukan Jamkesmas. Saat itu mereka menawar, boleh enggak dibayar setengah dulu dan diperbolehkan." Saat kembali jam 19.00, keluarga pasien hanya membawa uang Rp 144 ribu.
Selama di ruang rawat inap, tutur Zakaria, semua prosedur sudah dijalankan dengan baik. "Sekitar jam 23.30, pasien muntah. Atas rujukan dokter spesialis anak, pasien mesti dipasang selang yang masuk lambung. Otomatis kami harus mengeluarkan resep."
Jam 03.00 pasien kejang dengan suhu badan mencapai 40 - 41 derajat Celsius. Kembali dokter menginstruksikan memberi obat. "Tentu kami harus kasih resep lagi. Mungkin karena cemas, keluarga marah-marah sehingga komunikasi menjadi tidak bagus. Mereka memang sempat mau memberi jaminan STNK dan HP, tapi prosedur kami kan tidak bisa seperti itu. Namun, meski mereka belum menebus resep, kami tetap memberi obat yang dibutuhkan."
Ditegaskannya, pihak RS punya catatan dari jam ke jam tentang tindakan yang dilakukan pada Nisza. "Semua upaya sudah dilakukan untuk menyelamatkan pasien, sampai akhirnya meninggal sekitar jam 11.00."
Tentang tudingan keluarga pasien yang mengatakan "tidak ada uang, tidak ada obat", Zakaria berujar, "Rasanya tidak mungkin staf kami mengatakan seperti itu. Mungkin ini hanya kesan dari keluarga pasien karena kami memberi resep yang mesti ditebus. Betapa pun, kami akan mengevaluasi kebijakan kami agar ke depan tidak terjadi masalah serupa," papar Zakaria seraya menjelaskan, RS MAL merupakan RS swasta kelas 3 yang tarifnya murah. "Kami juga tidak akan menagih biaya perawatan Nisza yang totalnya mencapai lebih dari Rp 1 juta, yang sampai sekarang belum dilunasi keluarga pasien."
Henry Ismono