Usaha Porak Poranda
Enam tahun lamanya aku berjualan air mineral. Berjibaku di tengah jalan seperti ini membuat penampilanku tak karuan. Apalagi saat itu kehidupanku masih sulit. Seperti halnya semasa di Riau, bajuku saat itu juga penuh tambalan. Namun aku tak peduli. Pengalaman paling pahit kuterima saat ditolak sebuah rumah sakit ketika membawa istriku yang akan melahirkan anak kedua, Ahmad Ridho, pada 1995, karena penampilanku lusuh.
Petugas rumah sakit akhirnya mau menerima istriku setelah kukeluarkan uang Rp 4,5 juta dari kantung bajuku untuk membayar biaya kelahiran. Ha ha ha... Mungkin aku dikira gelandangan, ya. Padahal, saat itu usahaku tengah maju pesat. Alhamdulillah, berjualan air mineral ternyata bisa memberikan hasil lumayan. Buktinya, tahun 1996 aku bisa membeli sepeda motor, yang sampai sekarang masih kumiliki.
Namun, kebahagiaan yang kurasakan karena majunya usahaku ini ternyata tak lama. Kerusuhan yang melanda Jakarta pada 1997 diikuti krisis moneter memporakporandakan semua usaha yang kubangun. Uang tabungan dan modalku semakin menipis karena terus kupakai untuk biaya hidup sehari-hari. Sampai akhirnya, tinggal Rp 20 ribu uang yang tersisa di saku baju. Dalam keadaan bingung dan letih menghadapi cobaan hidup yang bertubi-tubi, aku melamun sambil berbaring di bawah pohon mengkudu.