Ketika "Sang Tupai" Akhirnya Jatuh Juga (1)

By nova.id, Rabu, 28 September 2011 | 22:54 WIB
Ketika Sang Tupai Akhirnya Jatuh Juga 1 (nova.id)

Di minggu ke-2 puasa, G pernah keliling ruangan, mengajak salaman minta maaf dengan para staf. Saya tidak ketemu karena sedang salat.

Bagaimana sosok G?

Setahu saya, dia sudah merintis karir di BPN sejak lama. Dengan pembawaannya, banyak yang mengira dia angkuh. Mungkin begitu kalau orang pintar dan punya gelar akademis tinggi, ya? Sebagai atasan, G termasuk tegas. Jelas saya syok dengan kejadian ini karena sebagai atasan dan direktur, dia itu panutan. Banyak teman yang enggak percaya dia berlaku cabul karena track record-nya oke banget. Karena masalah ini pula, banyak orang di kantor jadi tidak respek dengannya.

Setahu Anda, G sudah berkeluarga?

Ya, punya tiga anak, semuanya laki-laki. Istrinya ibu rumah tangga. Hebat istrinya, kuat sekali menghadapi kasus ini. Enggak terdengar terkejut dengan kelakuan suaminya. Malah sepertinya sudah biasa.

Ketika Sang Tupai Akhirnya Jatuh Juga 1 (nova.id)

"NPS meski masih sedih dan trauma, korban berharap G dihukum setimpal, agar tak ada lagi korban serupa (Foto: Ade Ryani) "

Maksudnya?

Saya tahu karena AIF pernah ditelepon istri G, dibilang agar meng-cover pencabulan itu karena suami AN pernah mendatangi rumah G untuk menyelesaikan masalah ini.

Bagaimana perlakuan G terhadap Anda?

Dia akrab dengan beberapa staf andalannya. Dalam arti, kami dibimbing secara pekerjaan karena tak banyak yang bisa mengikuti prinsip kerja orang pintar seperti G. Dia juga suka guyon dengan staf yang dia kenal baik. Tapi, bukan berarti bisa seenaknya bercanda. Dia pikir, karena dekat, kami tidak akan "teriak" dengan kelakuannya. Saya, kan, juga S2 Hukum, jadi tahulah bagaimana harus bersikap ke direktur. Tahu betul kapan waktunya bercanda dan serius. Terlebih setelah kasus ini.

Kenapa akhirnya menempuh jalur hukum?

Karena tak juga ada tanggapan dari instansi tempat kami bekerja. Malah, kami hanya dipanggil beberapa atasan, disuruh sabar dan meredam emosi agar tak maju ke muka hukum. Tapi G masih aktif bekerja setelah Lebaran, padahal dia sudah janji akan mengundurkan diri.

G juga tidak membahas masalah itu lebih lanjut, apalagi meminta maaf kepada kami pasca Lebaran. Kalau melihat cara dia melakukan pelecehan, sepertinya sudah biasa. Akhirnya kami bertiga sepakat menempuh jalur hukum, didampingi pengacara, melaporkan G ke Polda Metro Jaya,Senin (12/9). Kami juga menyertakan video untuk jadi bukti dalam proses hukum. Setidaknya, bisa menjadi petunjuk dan ada saksi yang menyaksikan pengakuan G di video itu.

Setelah kejadian 'labrak' itu, kami juga mengadu ke Komnas Perempuan, LBH APIK, dan Yayasan PULIH. Kami juga ke psikolog rujukan dari mereka.

Bagaimana dengan reaksi di lingkungan kerja?

Teman-teman kantor dan beberapa atasan yang tahu kasus ini justru menyemangati agar kami keep fighting. Syukurlah masih ada dukungan moral dari mereka. Tidak ada yang berani mencemooh kami karena sebagai perempuan, kami tak pernah "memancing" pelecehan ini terjadi. Jadi, mereka tidak menyalahkan kami.

Tapi, untuk bertemu G di kantor, rasanya sungguh tidak nyaman. Melewati ruangannya saja enggan. Setelah ramai diberitakan media, dia masih tetap ke kantor seperti biasa. Saya pernah bertemu dia di tangga, tapi dia tak berani menyapa. Padahal, biasanya dulu selalu menyapa.

Apa harapan Anda dengan melaporkan G ke pihak berwajib?

Saya tidak mau ada korban-korban kasus serupa. Menyedihkan kalau kami perempuan malah ditindas, dipaksa menutupi kasus pelecehan yang dialami. Ini akan jadi beban seumur hidup.

Meski melelahkan, namanya juga perjuangan, saya berusaha sabar dan tawakal. Semoga proses hukum berjalan lancar. Lebih cepat akan semakin baik supaya para perempuan berani bilang "Tidak!" atas pelecehan yang dialami.

 Ade Ryani / bersambung