Karena kutolak permintaannya, suamiku marah. Ia langsung menjambak, menampar, dan menyeretku pulang. Suamiku menuduh aku telah melakukan perselingkuhan setelah melihat foto-foto di telepon genggamku. Aku sudah bilang, foto lelaki berinisial An yang ada di foto itu, maaf, seorang banci, pemilik salon. Betul, kami memang berfoto bedua. Tetapi ada ceritanya.
Begini, saat itu aku lupa tepatnya kapan, aku hendak mendatangi suatu acara tetapi belum dandan. Lalu aku datang ke salon An. Usai dandan, karena ia orang salon dan aku trainer kecantikan, obrolan kami pun nyambung hingga cepat akrab. Setelah itu, kami foto berdua. Maklum HP-ku baru, jadi sedang senang-senangnya berfoto pakai HP.
Penjelasanku seperti itu rupanya tak memuaskan suami. Ia tetap menuduhku selingkuh dan mengajakku pulang ke Batang. Dengan berat hati akhirnya kami pulang bersama. Sejak itu, aku tak lagi bekerja di Yayasan Mutiara Bunda. Setibanya di Batang, aku pun tak kembali ke rumah suami, melainkan ke rumah orangtuaku. Kuceritakan semua yang menimpa rumah tanggaku pada kedua orangtuaku. Setelah itu, aku menggugat cerai Irawan.
Pada sidang pertama dan kedua, suamiku bilang kepada hakim bahwa tidak akan pernah menceraikanku meski ia mengajukan bukti foto yang ia yakini "hasil" perselingkuhanku. Berkali-kali aku bilang, selingkuh dengan siapa dan apa buktinya? Malam sebelum sidang ketiga, suamiku berkirim SMS amat kasar. Intinya, ia mengatakan uangku adalah hasil jual diri dan jangan sampai diberikan ke anak-anak. SMS seperti itu seperti biasanya tak pernah aku balas. Aku tahu watak suamiku.
Selasa (6/9), aku datang ke Pengadilan Agama ditemani ibuku, Ny. Mundari. Kira-kira baru lima menit sampai, kami duduk di bangku ruang tunggu sambil menunggu hakim yang akan menyidangkan perceraian datang. Tanpa kusangka dari arah berlawanan, datang suamiku. "Nih, ada titipan," katanya seraya melempar selembar foto ke pangkuanku. Belum jelas aku melihat siapa orang dalam foto itu, tiba-tiba suamiku mengeluarkan botol minuman warna biru, lalu menyiramkan isinya ke kepalaku seraya berkata, "Ini hadiahnya!"
Sekejap kemudian, kepala dan seluruh tubuhku terasa panas, perih bukan kepalang. Aku berteriak panik minta pertolongan namun tak ada yang menolong. Lalu aku lari ke arah kamar mandi, mencari air. Di sana kakiku terasa lemas. Kemudian aku kembali berlari ke luar mencari pertolongan. Sampai di sini aku masih bisa mendengar dan melihat ibuku berteriak-teriak agar menangkap suamiku yang sudah siap melarikan diri dengan sepeda motornya. Tetapi ia akhirnya bisa ditangkap polisi, yang kebetulan kantor Polsek tak jauh dari PA.
Dalam kondisi sadar, aku dibawa ke rumah sakit. Karena itu aku merasakan betul betapa sakitnya luka akibat terbakar cairan air keras. Sejak pagi hingga sore tubuhku kejang-kejang. Malam pun tak bisa tidur akibat kesakitan. Kendati demikian, sakitnya tubuhku saat ini tak ada artinya bila dibandingkan sakitnya perasaanku atas perlakuan suamiku. Karena itu, aku ingin segera lepas dari ikatan perkawinanku dengannya.
Hukuman Setimpal
Akibat guyuran air keras ke kepala yang menjalar ke seluruh tubuhku, kini kepalaku gosong. Mata sebelah kanan sebagian meleleh dan mengakibatkan penglihatanku kabur. Wajahku juga gosong di sana-sini dan kaku seakan tak bisa digerakkan. Hari pertama bahkan tenggorokanku sakit. Dada kiriku hingga lengan, paha hingga kaki kanan dan kiri turut melepuh. Menurut dokter, total tubuhku yang terbakar ada 19 persen.
Aku sudah mendengar suamiku kini ditahan polisi dengan sangkaan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Biarkan saja. Aku justru ingin ia diproses secara hukum. Seberapa berat hukumannya, biar Pengadilan yang memutuskan. Yang penting setimpal dengan kejahatan yang sudah ia lakukan. Aku berusaha mengikhlaskan, meski sejujurnya amat sulit.
Bagaimana nasibku ke depan, aku belum memikirkan. Ingin menggugat secara perdata dengan meminta biaya ganti rugi perawatan di rumah sakit, tetapi Irawan toh juga pengangguran.
Yang jelas aku masih harus membiayai sekolah dan hidup kedua anakku. Dengan keterampilanku di bidang potong rambut, make-up, dan sanggul yang baru kumiliki dua tahun belakangan ini, kuharap aku mampu. Aku harus tetap semangat hidup dan bekerja.
Rini Sulistyati / bersambung