mpat tahun lalu ketika bangun tidur, aku merasakan kulit muka dan kaki bengkak. Rasanya bukan alergi karena sebelumnya aku tidak makan apa-apa. Aku juga tidak pernah mengalami hal seperti ini. Segera saja aku ke bidan, tempat aku biasa suntik KB di sekitar tempat tinggalku di Dusun Gales, Magelang (Jateng). Khawatir terjadi apa-apa denganku, bidan menyarankan agar aku periksa ke dokter spesialis penyakit dalam.
Aku menuruti sarannya. Segera saja aku ke rumah sakit, periksa ke dokter spesialis. Aku di-USG dan menjalani pemeriksaan dokter. Aku sempat lega ketika dokter mengatakan tidak apa-apa. Benar, kan, tidak terjadi apa-apa. Tapi nyatanya, lama-kelamaan seluruh kulitku mengeras, bahkan menghitam. Rasanya kaku-kaku. Aku tak bisa leluasa bergerak.
Tentu saja aku kaget. Kenapa bisa seperti ini? Tanpa pikir panjang, aku kembali ke rumah sakit, periksa ke dokter ahli penyakit dalam. Aku dirujuk untuk periksa ke dokter spesialis kulit. Aku segera ke spesialis kulit di RSUD Tidar Magelang. Dokter mengatakan, aku terkena sceloderma. Wah, namanya terdengar asing di telingaku. Tak pernah aku mendengar nama penyakit ini.
Wajar saja aku tak paham. Kata dokter, ini penyakit autoimun yang penjelasannya adalah kekebalan tubuh yang menyerang tubuh sendiri. Ah, aku yang hanya tamatan SMP ini makin tak paham. Yang pasti, tentu saja aku kaget. Aku sempat browsing di internet melalui ponsel. Aku makin paham penyakitku. Cukup banyak artikel tentang sceloderma.
Aku jadi mengerti, sceloderma merupakan penyakit kulit yang bisa menyerang kekebalan tubuh. Tergolong penyakit langka, perbandingannya dari 100 ribu orang, yang terkena 30 orang. Lewat internet pula, tertulis gejala-gejalanya seperti kulit menghitam, mengeras, kulit wajah jadi kencang, gangguan menelan, sampai penurunan berat badan. Semua ini sama persis seperti yang kualami.
Namun, yang membuatku sangat bingung, penyakit ini susah sekali sembuh. Belum ditemukan obatnya. Meski begitu, aku tak putus asa. Aku terus berobat. Hanya saja karena masih pengobatan secara umum yang biayanya kutanggung sendiri, aku hanya rawat jalan. Tak sanggup untuk rawat inap. Sampai kemudian, aku tak sanggup lagi membayar biaya obat. Kondisi keluargaku, kan, hanya pas-pasan. Aku ibu rumah tangga biasa, sementara suamiku, Supriyanto, karyawan honorer sebuah instansi di Yogyakarta. Aku hanya bisa kontrol sesekali.
Lalu, aku mengurus Jamkesmas untuk mendapatkan pemeriksaan gratis. Aku pun mendapatkan kemudahan. Oleh Puskesmas, aku diberi pengantar untuk periksa ke RST. Aku kembali rutin periksa. Selama dua bulan, aku difisioterapi. Namun, tetap saja tak ada perubahan. Sekujur tubuhku makin mengeras. Saking kerasnya, bahkan sampai ada yang menyebutku manusia papan.
Berobat Rutin
Meski sudah berobat rutin, kondisiku tak makin baik. Malah keadaan makin parah. Ada lagi kendala, tak ada yang mengantarku berobat. Suamiku, kan, harus bekerja. Memang, ada kerabat yang mengantar. Namun, lama-kelamaan, aku tak bisa membonceng sepeda motor. Sekujur tubuh yang kaku-kaku membuatku tak bisa leluasa membonceng. Aku mesti dibantu agar bisa berdiri. Aku juga mesti dipapah untuk bisa berjalan pelan-pelan.
Selain itu, tubuhku makin lemas. Tak punya tenaga lagi. Bahkan, untuk sekadar mengangkat piring atau gelas saja aku sudah tak bisa. Akhirnya, aku tak lagi ke rumah sakit. Meski begitu, aku tak berhenti berobat. Aku beralih ke pengobatan alternatif. Terkadang ada orang pintar yang datang ke rumah.
Apa saja kata orang, aku mencoba mencari jalan kesembuhan. Suatu kali ada yang menyarankan lewat pengobatan batu giok. Di kala lain, ada yang menginformasikan tentang seorang tabib yang ramuannya manjur. Jika dihitung-hitung, selama empat tahun ini, aku sudah mencoba berobat ke lebih dari 20 pengobatan alternatif. Mulai dari yang dekat rumah sampai ke luar kota.