Curhat Muniroh, Penderita Sceloderma (1)

By nova.id, Minggu, 18 September 2011 | 23:18 WIB
Curhat Muniroh Penderita Sceloderma 1 (nova.id)

Bila punya rezeki, suami sampai menyewa mobil dan mengantarku berobat sampai ke luar kota. Pernah aku diantar sampai ke Temanggung dan Kulonprogo. Aku bertekad untuk sembuh. Ramuan jamu atau obat yang diberikan, selalu kuhabiskan.

Selain itu, aku juga dapat kabar, tanaman pegagakan, sejenis tanaman liar, bisa mengurangi penderita sceloderma. Aku minta tolong suami dan kerabat untuk mencari. Sampai setahun aku mengonsumsi pegagakan. Berbagai upaya pun terus dilakukan, tapi belum juga membuahkan hasil.

Kian lama, penyakitku makin parah saja. Kulit di hampir sekujur tubuh mengeras, bahkan sampai ke wajah dan kepala. Hanya bagian perut yang masih normal. Tentu saja dengan kondisi seperti ini, aku tak bisa beraktivitas. Sehari-hari aku hanya berbaring di ranjang. Ketika di rumah, hiburanku paling-paling hanya melihat teve.

Makan sendiri pun aku sudah tidak mampu. Harus ada yang menyuapi. Untuk menelan saja susah. Jadi, aku mesti disuapi sedikit demi sedikit. Lebih gampang makan bubur atau nasi lembek. Sebenarnya, sih, lidahku masih bisa mengecap rasa enak. Tidak terasa pahit. Mungkin karena susah makan, berat badanku turun drastis. Dulu, sebelum sakit, beratku mencapai 46 kilo. Sekarang paling tinggal 25 kilo.

Curhat Muniroh Penderita Sceloderma 1 (nova.id)

"Ibunda Muniroh, seorang penjual sayuran di pasar tradisonal, mengaku tak bisa setiap hari merawat anaknya itu, karena harus berjualan. (Foto: Henry Ismono) "

Terpaksa Merawat

Selama empat tahun di rumah, aku dirawat anak sulungku, Bagas Yanuarsa (12) yang kini sudah kelas 1 SMP. Karena keadaan, Bagas terpaksa merawatku. Habis siapa lagi? Aku memang masih tinggal bersama orangtua. Namun, mereka punya kesibukan sendiri. Ibu sehari-hari berjualan sayur di pasar. Saudara yang lain pun (aku anak ke-2 dari 4 bersaudara), sudah berkeluarga dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Bagas sama sekali tidak kusuruh. Dia sendiri yang tergerak untuk merawatku, sejak dia berusia 8 tahun. Aku sering terenyuh melihat kedua anakku. Pagi-pagi sekali Bagas sudah bangun. Dia merebus air, memasak, menyapu rumah, lalu membangunkan adiknya, Rizal Dwiananto (7), yang kini kelas 2 SD diajak mandi bareng.

Usai mandi, biasanya dia menggoreng telur untuk sarapan. Selanjutnya, dia mengelap tubuhku dengan air. Membantu ke kamar mandi dan mengganti baju. Setelah tubuhku segar, Bagas menyuapiku. Telaten sekali. Setelah semuanya beres, barulah dia berangkat sekolah, masih di dekat kampung kami. Dia cukup berjalan kaki.

Sepulang sekolah, kembali dia merawatku. Tidak seperti teman-teman lainnya, ia jarang sekali bermain ke luar rumah. Dia lebih suka menemaniku. Bahkan, dia belajar sambil mendamping aku. Aku tak tahu bagaimana perasaannya. Yang aku tahu, dia tidak pernah mengeluh. Hanya saja, memang prestasi sekolahnya agak menurun. Dulu, dari kelas 1 sampai 4 SD, dia ranking satu terus.

Sejak merawatku, dia jadi ranking tiga. Mungkin dia kelelahan merawat ibunya. Atau mungkin juga dia memikirkan keadaanku. Ah, dia memang anak yang baik. Tidur pun selalu bersamaku. Malam-malam, bila aku butuh bantuannya, aku tinggal menjawilnya.

Bila tiba saat salat, dia membantuku berwudlu dan mengenakan mukena. Aku pun salat sambil duduk di ranjang. Tentu saja, dia yang membantuku bangun, karena aku sudah tak bisa bangun sendiri. Usai salat, aku biasa berdoa khusus. Aku tak bosan berdoa kepada Allah mohon kesembuhan.

Sebagai manusia biasa, aku memang terkadang mengeluh punya penyakit seperti ini. Apalagi penyakit langka yang tidak ketahuan obatnya. Namun aku percaya. Allah yang menciptakan penyakit, pasti Allah juga sudah menyediakan obatnya. Entah kapan, aku yakin, pasti ada obat untuk penyakit seperti yang kualami. Aku harus optimis bisa sembuh. Jika tidak, kondisiku pasti akan makin memburuk. Apalagi di hadapan Bagas dan adiknya, aku harus selalu tegar.

Henry Ismono / bersambung