Livia adalah anak yang baik dan tidak pernah merepotkan. Dia selalu patuh dan hormat kepada orangtua. Di bulan-bulan terakhir saat sibuk mengerjakan skripsi, Livia memang sudah pamit akan jarang pulang ke rumah kami di daerah Senen, Jakarta Pusat. Padahal, biasanya setiap akhir pekan Livia selalu pulang. Selama kuliah, dia memang kos di dekat kampusnya.
Selasa (16/8), sebelum ke kampus untuk melihat pengumuman hasil sidang skripsi, dia menelepon. "Doakan, ya, Ma," katanya. Dia juga cerita, untuk lihat pengumuman, harus pakai seragam kemeja putih dan rok hitam panjang. Jam 16.00, Livia telepon lagi, memberi kabar gembira dengan suara ceria. "Aku lulus, Ma!" Saya langsung menimpali, "Sudah merdeka kamu sekarang, ya! Mama ikut senang kamu lulus." Aku dan suami pun langsung merencanakan menjemputnya di tempat kos, membawanya pulang, serta merayakan momen bahagia ini.
Esoknya, sesuai rencana, kami siap-siap berangkat. Papanya, seperti biasa, mengontak telepon genggam Livia. Terdengar nada sambung tapi tak diangkat. Aneh sekali. Livia rajin bangun pagi dan biasanya kalau mau dijemput sudah siap sejak jam 06.00. Ah, mungkin dia sedang pergi dengan teman-temannya dan lupa bawa ponsel, begitu pikirku. Anehnya, suamiku malah mengaku punya firasat tidak baik. Selama ini aku memang membiasakannya pamit sebelum pergi ke mana-mana. Baik pergi dengan teman-teman atau kekasihnya, pokoknya harus bilang. Kok, kali ini tak ada berita apa-apa.
Dewi Kesayangan
Jadilah sepanjang hari itu aku terus mencoba menghubungi Livia. Beberapa sepupu Livia juga mengontaknya lewat SMS. Semuanya masuk, tapi tak berbalas. Karena cemas, sorenya kami ke tempat kosnya. Kugedor pintu kosnya, tak ada sahutan. Lagi-lagi aku mencoba tak berburuk sangka. Siapa tahu Livia sedang pergi merayakan kelulusan dengan teman-temannya.
Sampai esoknya, Livia tetap tak bisa dihubungi. Kesal, aku langsung menuju kos Livia dengan ojek. Dari keterangan penjaga kosnya, Livia sudah pergi sejak jam 08.00 pagi. Kuminta mereka mendobrak pintu kamar Livia, barangkali ada petunjuk keberadaannya. Ternyata kamarnya dalam keadaan rapi. Semua bajunya masih ada di lemari. Saat itulah perasaan tak enak langsung menyergap. Atas saran penjaga kos, aku melaporkan hilangnya Livia ke Polsek Kebon Jeruk.
Keluarga besarku dan teman-teman Livia tak mau tinggal diam. Kami mencari Livia ke mana-mana. Banyak telepon masuk mengabarkan bertemu Livia. Ada yang bilang bertemu di Jembatan Slipi, ada juga yang bilang pernah melihat Livia sedang berjalan bak orang linglung di Mal Taman Anggrek. Berbekal informasi yang tak jelas itu, kami berpencar mencari Livia. Tak satu pun membuahkan hasil.
Seorang saudara menyarankanku berdoa dan sembahyang (kami pengikut Budha). Empat hari setelah itu, titik terang mulai muncul. Sekitar pukul 01.00, empat polisi datang ke rumah kami. Kata mereka, Livia ada di Tangerang dan kami diminta ikut ke Tangerang. Perasaan tak enak kembali mendera. Apa yang terjadi pada anakku? Sepanjang jalan, aku terus berdoa agar dia selamat.
Di Polsek Cisauk itu, kami diminta menunggu sementara polisi berangkat ke RS Tangerang. Beberapa jam kemudian, kami diminta kembali ke Polsek Kebon Jeruk. Sesampainya di sana, polisi memperlihatkan seuntai kalung. "Benar ini milik anak Ibu?" Tak perlu melihat dua kali, aku yakin benar, kalung berbandul Dewi Kwan Im itu milik Livia.
Itu kalung kesayangan Livia yang kubelikan di Mal Artha Gading Mal atas permintaan Livia. Sejak SD, dia memang menyukai sosok Dewi Kwan Im yang disebutnya orang suci. Sejak itu, Livia selalu memakai kalung itu. Saat tidur, kalung itu ditaruhnya di bawah bantal.
Sempat kulihat ada ceceran darah di kalung tersebut. Aku jadi panik dan lemas. "Saya tidak mau kalung. Saya mau anak saya! Mana anak saya, Pak Polisi," teriakku sambil menangis meraung-raung di kantor polisi. Setelah itu, aku jatuh pingsan.