Sejak itu, sarjana perikanan ini bila ada waktu senggang mulai mengotak-atik potongan-potongan limbah kulit. Karena memiliki kemampuan merajut, ia terapkan aplikasi merajut di bagian tepian potongan kulit, hingga menjadi sebuah rangkaian lembaran yang lebar dan diperkirakan cukup untuk membentuk sebuah tas atau dompet yang diinginkan.
"Dulu, prosesnya makan waktu lama. Untuk bisa merajut dan jadi sebuah tas, butuh waktu sekitar setahun," ungkap Niahayatun, yang membuat usaha ini bersama suaminya, Fatkhur Rochman (43).
Ketika masih dalam proses belajar, segala sesuatunya masih serba manual. Untuk melubangi tepian kulit sebagai jalan jarum rajut, ia harus melakukannya satu per satu dengan paku. Tentu memerlukan waktu dan tenaga, serta harus telaten agar rapi. "Bila ingat perjuangan saya waktu itu memang tak mudah. Sekarang tinggal enaknya saja," katanya mengenang.
Namun, dulu Nihayatun sempat merasa tak percaya diri untuk menjualnya karena merasa hasil kerajinannya masih belum terlalu rapi. "Tapi saya sudah yakin, sih. akan bisa jadi kerajinan yang diminati banyak orang," imbuhnya. Merasa hasil karyanya belum rapi, Nihayatun setiap hari terus bereskperimen, hingga hasil karyanya betul-betul rapi dan bisa dinikmati.
Kendati sudah rapi, lagi-lagi model yang ia buat masih itu-itu saja. Alasannya, jika ingin membuat bentuk lain ia masih harus belajar lagi. "Dulu, jika ada orang pesan untuk dibuatkan tas dengan model tertentu, saya janji untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Soalnya ilmu saya masih terbatas sekali," katanya sambil tersenyum.