Ia justru khawatir jika kreativitas itu hanya berhenti pada kritik dan menertawakan orang lain. Artinya, masyarakat hanya sekadar mengkritik tanpa mau ikut memperbaiki diri atau memberi solusi. "Pertanyaan selanjutnya, beranikah dia menertawakan diri sendiri? Jika melihat sesuatu tapi tak melakukan sesuatu, itu artinya seperti menertawakan diri sendiri," lanjut "Dik Pendi", panggilan Effendi di Republik Mimpi.
Jika kritik itu dilakukan terus-menerus tanpa ada upaya ikut memperbaiki diri, tambahnya, "Bisa-bisa malah jadi bumerang bagi diri sendiri. Dia akan dicap sebagai orang yang sinis. Sinis yang ekstrem, kan, justru negatif dan tak bermanfaat." Seharusnya, lanjut Effendi, kritikan juga diimbangi dengan penghargaan untuk tokoh yang dianggap mampu melakukan tugas dengan baik. "Kalau memang ada keberhasilan, ya, harus dipuji juga. Setelah itu, boleh 'dihantam' dengan kitik lagi," jelas Effendi sambil menambahkan, kreativitas foto dan joke yang selama ini beredar, "Basisnya semua ke sinisme masyarakat terhadap kondisi bangsa Indonesia. Jadi, bukan untuk lelucon."
Pendapat lain disampaikan aktor kawakan Ray Sahetapi. Ia menilai munculnya fenomena foto dan joke ini wajar saja karena zaman sudah bebas. "Orang bisa berekspresi apa saja. Dia (Nazaruddin) diwujudkan sebagai Superman karena 'berani' melawan presiden dan menantang tokoh partai besar. Menurut saya, itu kreativitas yang sangat baik."
Masyarakat, lanjut Ray, saat ini memang sedang gelisah menghadapi situasi yang benar-benar memprihatinkan. Entah dari sisi penegakan hukum maupun moralitas yang ada di masyarakat dan para pemimpin bangsa ini.
Kemunculan "karya-karya jenial" itu, lanjut Ray, justru membantu tugas seniman teater. "Selama ini teater yang suka mengeritik. Sekarang ada karya-karya lain. Entah itu berwujud gambar, foto, atau tulisan," lanjut Ray yang belakangan ini juga lagi getol mengampanyekan gagasan Republik Nusantara. "Sekarang ini, ibaratnya teater sudah turun ke jalan. Ini justru baik sekali."
Wujud kritik berbentuk joke dan gambar lucu seperti yang kini banyak beredar, lanjutnya, malah ditengarai Ray sangat menghibur dan menguntungkan masyarakat. "Karena kritiknya diwujudkan dalam karya seni sehingga tak ada kerusuhan atau sampai bakar-bakaran," lanjut seniman ini.
Hanya saja, stamina seseorang bisa lemah karena dijejali informasi atau kreativitas yang sama dari menit ke menit secara terus-menerus. "Kreativitas ini sebenarnya baik, hanya saja harus diimbangi dengan usaha yang lain." Ray menilai, fenomena munculnya kreativitas itu seperti budaya tisu yang sekali pakai lalu dibuang. "Informasi-informasi (yang terkandung dalam karya itu) akan terserap ke otak, tapi tak tertanam lama. Dua hari saja sudah hilang," jelas Ray.
Yang harus dilakukan, lanjutnya, adalah mengapreasiasi karya-karya tadi dengan kegiatan lain. Diskusi, misalnya. "Jadi, apa yang didapat itu lebih tertanam lama. Kita bisa tukar pendapat, menyerap informasi dari para tokoh lintas profesi," Selanjutnya, tutur Ray, informasi yang benar itu membuat kita bisa melakukan lebih baik. "Itu, kan, yang penting. Bangsa kita menjadi lebih baik."
Sukrisna / bersambung