Wajah tua Jumari masih terlihat syok dan trauma. Walau masih terlihat sedih tapi pria enam anak ini sudah menerima kepergian orang-orang tercinta, istri Ginem (46) dan dua anak Juwita (14) serta Ubaidila Pata (7).Hingga Sabtu (6/8) tak berhenti kerabat, tetangga dan para guru anaknya menyampaikan dukacita mendalam. Dengan kedatangan orang yang prihatin keadaan keluarganya Jumari sudah terlihat tenang.
Saya seperti tak percaya dengan musibah yang datang tiba-tiba merengut nyawa orang-orang yang saya cintai. Rasanya seperti mimpi dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Begitu tiba-tiba dan cepat berlalu.Kejadiannya Senin (1/8) malam sekitar pukul 20.30 wib.
Bagaimana tidak, saat kejadian pun saya sempat berdialog dengan istri saya,Ginem. Ginem paling suka nonton sinetron Cinta dan Dusta di Stasiun Televisi Indosiar. Sebenarnya, saat kejadian itu hujan turun dengan derasnya disertai guruh dan guntur. Karena begitu derasnya hujan sempat listrik di rumah tak menyala.
Nah, karena listrik padam. Setelah buka puasa, Istri saya naik ke tempat tidur bersama anak kami Juwita dan Ubay -- begitu sapaan Ubaidila - sehari-hari. Saya sempat melihat Ginem mengeloni anak kami Ubai. Naha, karena listrik padam, Ginem sempat pesan pada saya agar memanggilnya jika sudah hidup lampu.
Saat itu saya juga sedang berleh-leha duduk di depan televisi tak jauh dari tempat tidur Ginem. Rumah kami memang tak ada sekatnya. Disitu ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Nah,,,saat saya berleha-leha itu tiba-tiba saya mendengar suara bruuuk,,,,,.Seperti pohon jatuh. Tiba-tiba entah bagaimana tubuh saya ikut limbung jatuh ke bawah.
Saya tak tahu dimana saya berada.Tiba-tiba saya sudah jatuh kebawah dan tepat berada di depan saya daun pintu. Dalam hitungan detik, saya tak dengar suara anak istri saya lagi. Barulah saya mulai mendengar jeritan orang-orang. Apa yang terjadi ? Ya Allah, ternyata rumah saya ambruk, jatuh amblas kebawah. Saya tak bisa berbuat apa-apa.
Di depan mata saya menyaksikan rumah saya rata dengan tanah.Ya, saat hujan deras itu bukit dan tanah longsor dari tebing menimpa kediaman kami. Kejadiannya begitu cepat, sehingga saya tak tahu sudah dimana dan dimana keberadaan istri dan dua anak.Walau rumah saya amblas tapi syukurlah rumah anak ketiga saya Sri Wahyuni yang satu dinding dengan saya tak ikut ambruk.
Yang saya dengar dari pihak kepolisian diduga longsor tersebut terjadi akibat hujan deras yang melanda daerah kawasan rumah kami sejak Senin sore hingga Senin Malam. Karena tak mampu menahan air dalam jumlah besar, tanah yang berada di bagian atas desa itu longsor dan menimpa rumah yang berada di Dusun lima dusun kami. Setahu kami di dusun itu baru kali inilah kejadian longsor seperti ini.
Butuh waktu dua hingga tiga jam untuk mengevakuasi jenazah korban yang tertimbun dalam tanah. Sebenarnya, anak sulung saya Muhammad Basuki (25) melihat tangan menyembul dari reruntuhan tanah. Tapi, kalau tangan itu ditarik takutnya patah. Apalagi, tanah disekitar lokasi tanahnya lembek dan hancur. Setelah tiga orang itu ditemukan ternyata semua sudah meninggal dunia.
Ya, apa dikata, saya harus pasrah dan Tawakkal dengan musibah mengenaskan itu. Yang saya tak habis pikir sekarang, kenapa istri 'membawa' pergi anak nomor 4,5 dan 6. Sedangkan yang masih bersama saya anak nomor 1,2 dan 3. Ya, seperti sudah diatur saja.
Sebenarnya, kami tak pantas tinggal dilokasi rumah yang berada diatas bukit. Tapi, apa daya, kami harus menerima keadaan ini. Sebab,kami orang susah yang tak punya apa-apa. Rumah itu pun tanahnya atas pemberian Kepdes Bantu Purba. 'Kalau kalian mau tinggal disitu, boleh saja'. Makanya, kami berjumlah 14 KK gotong royong membuat rumah ala kadarnya.
Setelah kejadian ini syukurlah Pak Kepdes akan memberikan kami lahan lagi untuk tempat tinggal. Kami tak bisa membalas akebaikan hati Kepdes. Hanya Tuhan yang membalasnya. Tapi, mudah-mudahan kali ini kami jangan lagi tinggal dipermukiman penduduk dipinggir kota Brastagi yang berada di lembah yang rawan longsor. Kami berharap jangan ada lagi korban.
Dimataku, istri Ginem adalah wanita yang gigih dan pekerja keras.Dia sangat tahu dengan kondisi suaminya. Membuat dia harus turun tangan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tapi, karena Ginem punya penyakit asam urat jadi dia hanya bisa sehari, dua hari atau tiga kali seminggu ambil upahan ladang orang.
Sama seperti ibunya, anak nomor empat Juwita juga baik dan patuh pada orang tua. Satu hari puasa yang lalu. Saya menyuruhnya masak untuk lauk daun singkong ditumbuk. Saya bilang 'bapak yang numbuk daun singkongnya,kamu yang giling bumbunya'. Dia juga tak lupa buat teh manis buat ibunya. Setelah itu dia beres-beres rumah.
Sehari-hari Juwita anaknya pendiam tak banyak omong. Dia juga selalu juara kelas. Sebenarnya kami sempat buka puasa pertama waktu itu. Sekarang semua hanya tinggal kenangan dan saya mau tenang dulu. Apalagi, kini saya tak punya rumah lagi. Saat ini saya menumpang di rumah adik saya, Saniem.
Mungkin, tanda-tanda sudah 'terbaca' saat itu. Namun, tak diperhatiin sekali. Misalnya, walau saat itu hujan deras tapi saya ngotot nyuruh anak sulung saya Basuki untuk pergi merantau kerja di Sidikalang. Bhakan,istri saya juga berkeras agar Basuki pergi saat itu juga.Memang aneh juga kalau ada ortu yang memaksa anaknya pergi walau hujan deras. Namun, kalau Basuki masih ada di rumah mungkin dia juga jadi korban.Ah...entahlah.
Anak kedua saya Sinta Dewi (22) yang saat itu minta dijemput dari kerjanya di pabrik roti. Namun,karena hujan deras, saya minta agar dia minta tumpangan dengan rekan kerjanya yang melewati rumah kami. Jadi, kalau Sinta saat itu sudah berada di rumah mungkin dia juga akan 'menyusul' ibu dan adik-adiknya. Kalau mikir-mikir itu rasanya perih hati ini.
Anak bungsu Ubay juga sempat disyooting abangnya Basuki dari telepon selularnya, sehari sebelum kejadian itu.Tapi,nggak tahu kenapa Ubay hanya mengintip-intip saja waktu itu.Anak saya Sinta juga sebenanrya bulan November ini akan resmi menikah.Tapi, sekarang kami akan berembug lagi membicarakan pernikahan ini.
Sekarang saya ingin menata kehidupan lagi dari dari nol.Saya ingin cari kerja lagi.Pekerjaan saya sehari-hari buruh lepas. Saya bekerja bukan untuk diri sendiri saja tapi saya cari kerja buat anak-anak saya. Walau pun anak saya sudah menikah tapi tak ada salahnya saya bantu juga.Debbi Safinaz