Kris Tatang Mareta Aji: Hidup Memang Seperti Roda

By nova.id, Jumat, 5 Agustus 2011 | 01:09 WIB
Kris Tatang Mareta Aji Hidup Memang Seperti Roda (nova.id)

Dengan apa yang didapatkan Papi dan Mami, tak ada hal lain yang ada dalam pikiran saya ketika itu selain sekolah dan bersenang-senang. Semua orang mengenal saya sebagai anaknya Gepeng. Kemanapun dan melakukan apapun selalu didahulukan, kami sangat dihormati masyarakat.

Kris Tatang Mareta Aji Hidup Memang Seperti Roda (nova.id)
Kris Tatang Mareta Aji Hidup Memang Seperti Roda (nova.id)

"Sebagai anak Gepeng, semua orang mengenal dan menghormati saya (Foto: Repro, Swita A Hapsari) "

Roda Berputar

Kebiasaan minum alkohol akhirnya membuat kesehatan Papi semakin lama semakin menurun, badannya pun semakin kurus. Papi lalu berobat ke Singapura, dokter mengingatkan untuk mengurangi kebiasaan minum alkohol karena fungsi livernya sudah terganggu.

Bukannya berhenti, Papi semakin menjadi. Papi malah menantang dokternya, "Yang menentukan hidup itu kamu atau Tuhan?" Karena tak bisa berubah, empat tahun kemudian Papi dirawat di rumah sakit. Tanggal 11 Juni 1988, Papi tiada.

Seperti sebuah kalimat bijak, hidup memang seperti roda yang berputar. Sejak Papi meninggal, kehidupan keluarga kami berubah 180 derajat. Jika awalnya kami hidup dengan beragam kemewahan, hanya dalam waktu kurang dari satu tahun saja semuanya hilang. Keluarga besar berebut warisan hingga membuat tabungan habis, rumah dan isinya pun habis, tak jelas uangnya ke mana.

Akhirnya, kami harus meninggalkan kehidupan glamor dan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Solo. Untuk membeli beras, kami harus menjual semua barang yang masih tersisa. Semua kenangan dan harta Papi, mulai dari kaset master dan baju pun habis dijual.

Semua itu masih terbayang di pelupuk mata, seakan baru kemarin peristiwa ini terjadi. Sedih, sudah pasti, terlebih ketika melihat wajah adik-adik yang ketika itu masih kecil-kecil.

Sebagai anak sulung, saya harus menjadi kepala rumah tangga. Saya yang dulu sangat manja dan tergantung pada orangtua, harus mengambil alih posisi Papi dan harus mulai menghidupi keluarga. Karena tak ada yang bisa membantu, mau tak mau saya harus bisa mencari nafkah. Saya sadar, berapa pun banyaknya harta peninggalan Papi yang dimiliki, tak bisa terus menerus membiayai hidup keluarga kami.

 Edwin Yusman F / bersambung