Warung Tempo Dulu yang Tetap Laku (1)

By nova.id, Kamis, 28 Juli 2011 | 00:27 WIB
Warung Tempo Dulu yang Tetap Laku 1 (nova.id)

Dan, yang menjadi pelanggan Warung Lama ini bukan hanya warga Malang saja, melainkan banyak juga yang datang dari luar Malang. Biasannya, kata Yusuf, para pelanggaan yang fanatik itu dulu berasal dari kota Malang, tapi kemudian pindah ke kota lain atau bahkan sudah hijrah ke luar negeri. "Pada saat mereka kembali berkunjung ke Malang, pasti akan menyempatkan makan di sini. Tak jarang mereka membawa serta keluarga dan anak-anaknya," ujar Yusuf bangga.

Warung Tempo Dulu yang Tetap Laku 1 (nova.id)

"Tutik sama sekali tidak mengubah resep sotonya, kecuali bahan isinya yang tadinya tempe di ganti daging sapi (Foto: Gandhi Wasono M) "

Berawal dari Soto Tempe

Di lokasi yang tak jauh dari Warung Lama H. Ridwan, juga ada penjual soto daging, nama pemiliknya Hj. Puji Astutik atau biasa disapa Tutik. Warung soto ini juga sudah ada sejak tahun 1928. Lokasi warung soto daging Hj. Tutik tampak lebih sederhana. Tempatnya berada di pojok perempatan stan pasar, sehingga terkesan agak menyempil.

Kendati lokasinya amat sederhana, kepopuleran soto daging ini tidak kalah dengan pamor sate komoh H. Ridwan. Terbukti, setiap hari warung soto ini juga ramai dipadati pembeli. Dalam sehari, minimal Tutik menghabiskan sekitar 15 kilogram beras. JIka di hari libur, bisa menghabiskan lebih banyak lagi. "Malah sempat sampai habis 25 kilogram besar dalam sehari," kenang Tutik.

Tutik merupakan orang keempat yang mengelola sejak warung soto itu dibuka di era zaman Belanda. Yang merintis warung ini adalah seorang pria bernama Saidi, kemudian diteruskan oleh anaknya Supiatun, lalu diteruskan oleh ibunda Tutik, Hiyana. Baru kemudian pada tahun 1985 dilanjutkan oleh dirinya hingga saat ini.

Soto daging Tutik memang terasa khas. Sebagai penyedapnya, ia tak menggunakan koya yang biasa terbuat dari krupuk layaknya soto daging pada umumnya. Tetapi, ia membuat koya dari kelapa. "Resep soto ini dari dulu sampai sekarang tetap tidak berubah. Sebelum saya turun jualan, saya dulu sering bantu ibu, jadi tahu persis cara mengolahnya," papar ibu tiga anak dan sudah punya lima cucu.

Seperti sejarah para pedagang lainnya, sebelum menempati tempat permanen di Pasar Baru, buyutnya, Pak Saidi, menjual soto dengan cara dipikul dari rumahnya di kawasan Mergosono menuju Pasar Baru. Ketika itu, lanjut Tutik, karena harga daging sangat mahal, isi sotonya tidak pakai daging, melainkan tempe.

Kiat menjaga kualitas rasa agar tetap disukai pelanggan di antaranya, ia tak mengubah resep yang ia peroleh secara turun temurun, termasuk dalam memilih bahan yang selalu diutamakan berkualitas. "Saya pakai daging terbaik tanpa lemak. Setelah diolah, dagingnya jadi empuk dan sama sekali tanpa lemak," ungkap Tutik.

Karena itulah, para pelanggannya tetap datang untuk menikmati masakannya. "Para pelanggan saya bukan dari Malang saja, tapi banyak juga dari luar kota," ujar Tutik senang.

Gandhi / bersambung