Menurut Sarmidi, peristiwa nahas itu ironisnya terjadi sepulang ia bersama sejumlah kerabatnya melayat (alm.) Kusnadi, kerabatnya yang meninggal dunia di Desa Kanor. Ketika masih berada di kediaman Kusnadi, ia bertemu kerabat lainnya, Kayat bersama keluarga besarnya, serta Sanadi yang juga datang bersama anak dan istrinya. "Pulangnya, kami bersama-sama mereka pakai perahu untuk menyebrang desa. Mereka bawa sepeda motor, sedangkan saya dan istri bawa sepeda pancal," papar Sarmidi.
Selama bertemu dua kerabatnya, Sarmidi tak merasakan kejanggalan atau firasat apapaun bila kemudian ia akan berpisah dengan mereka untuk selamanya. "Sama sekali tidak ada firasat apapun. Bisa-biasa saja, kok. Namanya juga keluarga dekat, jadi kami gembira bisa berkumpul dan pulang bersama. Eh, tidak disangka, sepulang dari takziah, kami malah harus berpisah untuk selamanya," cetus Sarmidi yang sampai saat ini masih merasa seperti mimpi karena mendadak kehilangan 10 anggota keluarga secara bersamaan dalam satu waktu.
Sementara itu, wajah Warsono (18) yang duduk di tikar plastik ruang tengahnya yang sederhana, tampak tertunduk lesu. Dari tatapan matanya yang kosong, remaja yang cuma protolan SMP itu terlihat sekali batinnya masih terguncang hebat atas kepergian tiga orang terdekatnya, yaitu ayahnya Sanadi (40), ibunya Warsinah (35) dan adiknya Roby (9).
Ketika ditemui NOVA di rumahnya di Desa Lambangan, Kec. Sokosari, Tuban, Rabu (29/6), tak banyak ucapan yang meluncur dari bibirnya. "Sama sekali saya tidak menduga bapak, ibu dan adik akan meninggal bersamaan seperti ini," ujar Warsono lirih.
Pagi di hari nahas, remaja berambut lurus itu sama sekali tak melihat ada perubahan perilaku pada ketiga orang dekatnya. Ia bercerita, ketika mendengar kabar kerabatnya yang bernama Kusnadi meninggal dunia di Desa Kanor, ayahnya kemudian bergegas berangkat menuju desa itu menggunakan motor bersama istri dan anaknya, dengan keluarga besar Kayat yang tinggal sedesa dengannya. "Di hari itu, sih, biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh dari mereka," ujar Warsono pelan.
Namun, sekitar pukul 13.30, Warsono mendapat kabar mengejutkan dari tetangganya yang mengaku didatangi polisi. Ia mendengar, ayahnya jadi korban perahu tenggelam di Sungai Bengawan Solo. "Saya langsung lari ke sungai, tapi di sana sudah ramai orang. Sementara bapak, ibu dan adik belum ditemukan," kata Warsono. Ayah dan ibunya tak lama ditemukan di hari itu juga, sementara sang adik ditemukan keesokan harinya. Warsono, tak bisa mengambarkan bagaimana perasaannya ketika secara mendadak harus menerima kenyataan menjadi yatim piatu. "Rasanya enggak karu-karuan," tukasnya singkat.
Kendati demikian, Warsono mencoba merunut apa yang terjadi malam sebelum peristiwa duka itu menghampirinya. Ia lalu menyadari, ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Ketika hendak tidur, dengan jelas ia merasakan tangannya ditarik oleh sebentuk bayangan hitam. "Wajahnya tidak terlihat, tapi bayangan itu menarik-narik tangan saya dengan kuat, sampai saya ketakutan," cerita Warsono.
Selain Warsono, rasa duka juga dialami Yanti (20). Wanita yang baru menikah tiga bulan lalu itu harus kehilangan seluruh keluarganya. Sang ayah Kayat (50), ibundanya Jamilah (45), suaminya Sadikin (35), kakaknya Sunarti (22), serta keponakannya Dyah (4) tewas seketika. Ketika ditemui di rumahnya di Desa Lambangan, Yanti, bergegas masuk ke dalam kamar dan tak mau ditemui NOVA. Wanita berkulit hitam manis dan berambut lurus sebahu itu seolah tak rela mengingat kembali peristiwa yang telah menghilangan nyawa kelima orang terdekatnya.
Gandhi Wasono M./ bersambung